Minggu, 01 Januari 2017


sumber: www.susindra.com

"Orang yang sopan dan tahu bergaul dengan sesamanya pasti juga tahu beramal kepada lingkungannya. Beramal tidak hanya berupa pemberian uang atau benda. Mengajarkan apa yang diketahui kepada orang lain juga disebut amal. Begitupula orang yang bersifat menerima atau mengakui kehebatan orang lain. Beramal juga berarti menjadi orang yang berhati luas dan dalam bagaikan lembah, selalu sabar, memaafkan kekurangan sikap atau sifat orang lain. Sebab itulah ada sebutan dalam bahasa Jawa yang juga diulang-ulangi Simbok, yang diharapkan menjadi sifat anak-anaknya, ialah lembah manah;Sabar sekali."

Banyak nilai lokalitas Jawa yang terkandung dalam novel Tirai Menurun karya Nh. Dini, karena novel ini memang mengangkat kehidupan Jawa khususnya kehidupan padepokan wayang, penari, panggung, sekaligus kehidupan mereka di balik tirai panggung;kehidupan nyata para pemain Padepokan, kehidupan yang agaknya menjadi judul novel itu sendiri: Tirai Menurun. Namun saya memilih cuplikan di atas sebagai lead dalam tulisan ini. Selain kesesuaian dengan kondisi kehidupan saya saat membacanya, cuplikan paragraf di atas memiliki nilai yang penuh dan padat.

Seperti Novel 'Pada Sebuah Kapal' yang menggunakan dua pencerita yaitu Sri dan Michel dengan sama-sama melewati sudut pandang 'aku', Tirai Menurun juga dihidangkan oleh lebih dari satu pencerita; lebih dari tiga. Bedanya, tidak melewati jalan 'aku' tapi sudut pandang ketiga.

Tokoh-tokoh Tirai Menurun memiliki karakter yang kuat pada masing-masing karakternya yang berbeda. Tapi ada tiga karakter yang saya suka, yaitu Sumirat sebagai perempuan penari yang sangat halus, sebagaimana karakter dan sifat-sifatnya; Kedasih yang ceria, terbuka dan sempat jatuh dalam hidupnya karena ditinggal menikah tiba-tiba oleh kekasihnya. Namun memiliki muara hidup yang bahagia. Irah datang sebagai karakter perempuan yan paling saya sukai. Perempuan yang cerdas bahkan secara spiritual-emosional, kuat, dan sangat ringan tangan. Perempuan pedagang yang bijaksana, berpengaruh, dan dihormati layaknya Khadijah R.A.

Sebagaimana saripati nilai kehidupan--khususnya tentang nilai-nilai perempuan Timur--yang saya temukan dalam 'Pada Sebuah Kapal', Tirai Menurun adalah kehidupan nyata di atas lembaran kertas-kertas yang saripatinya tidak akan ada habisnya untuk direguk. Oleh siapapun, kapanpun! Di luar batas zaman....

Jadi, bukan novel khayalan seperti Ayat-Ayat Cinta milik Habiburrahman El-Shirazy misalnya. Novel yang tidak manusiawi[]

Kamis, 22 Desember 2016

Sapardi-Chairil; Yang Membersamai



Masa melankolis itu kuhabiskan waktu di Perpustakaan. Meyembuhkan luka hati. Kuambil dua kumpulan puisi. Satu, ‘Hujan Bulan Juni’ milik Sapardi Djoko Damono, dan satu lagi milik si binatang jalang, Chairil Anwar.

Dua pekan aku membacanya, sengaja aku baca pelan-pelan, berlama-lama dan berulang-ulang. Ingin dilahap semuanya oleh batinku. Oleh batinku. Oleh batinku. Dan… oleh batinku.

Lalu aku mengenali puisi-puisi Sapardi sebagai jiwa yang lembut, peka, indah, dekat dengan alam, sekaligus penciptanya. Puisi-puisi yang mencintai dengan diam-diam, bahkan saat menangis. Sapardi, lewat puisinya, ingin menangis pun secara diam-diam di bawah gerimis yang turun lembut.

Ah, siapa yang tidak tahu bahwa hujan adalah milik puisi-puisi Sapardi. Aku bayangkan, dia adalah lelaki yang lembut jiwa-raga. Puisi-puisi itu bertutur dengan lembut dan hangat. Sebagaimana sosok lelaki yang diidam-idamkan banyak perempuan.

http://greatthoughtstreasury.com/sites/default/files/med_2604100811_chairil-oke[1].jpg

Dan Chairil Anwar datang bersama puisi-puisinya sebagai lelaki yang bohemian, dalam, bergairah, meledak-ledak dan mencintai dengan lebih berani sekaligus terang-terangan. Puisi yang khas milik lelaki jalang.

Chairil bersama puisi-puisinya berdiri di ujung dunia yang lain dari Sapardi dan puisi-puisinya. Meski begitu, persamaan keduanya adalah masing-masing pernah berada dalam satu titik yang sama dalam suatu hal yang tidak bisa diwadahi oleh kata-kata. Sebuah peristiwa yang membuat jatuh berbunga dan jatuh luka dan berbunga lagi. Dan semuanya itu memang bersembunyi di balik kata-kata. Di antara juntaian puisi-puisi. Bertudung bahasa.

Tapi, suatu hal itu hanya bisa kamu rasakan tanpa kamu bisa katakan. Selain sedikit saja bisa kamu sembunyikan lewat puisi-puisi. Sedikit saja. Karena semuanya terlalu ‘maha’.

Desember 2016

Minggu, 04 Desember 2016

Kelembutan dan Kemesraan Lelaki dalam Novel 'Pada Sebuah Kapal' NH Dini


Sumber: www.pexels.com

"Mungkin dia mencintaiku dengan caranya, dengan kesungguhannya. Tetapi apakah ini artinya bagiku? Aku yang tidak bisa menghargai laki-laki yang bersikap kasar sedikit pun terhadap seorang perempuan, terutama terhadap istrinya."
Sengaja saya mengambil kalimat di atas dari Novel Pada Sebuah Kapal (PSK) karya NH Dini. Bagi saya, muara dari novel PSK adalah terdapat di balik kalimat ini. Seorang kekasih yang dimulutnya menyatakan cinta tapi pada sikapnya cinta itu sama sekali tidak terpancar. Di sini karna cinta berbanding lurus dengan kelembutan, kemesraan, dan pengertian. Memiliki tempat yang jauh dari berkata kasar, bersikap buruk, dan jauh dari pengertian. Karena itu adalah sikap-sikap yang menyakiti. Bukankah mencintai bukan menyakiti?. Sangat jauh. Apabila kamu masih menyakiti, maka hakikatnya kamu tidak mencintai, seberbusa apapun dan bersikukuh bagaimanapun mulut dan pikiranmu mengatakan 'mencintai', menyangkakan itu cinta.

Bahkan, lebih dari itu, NH Dini lewat tokoh bernama Sri--yang juga adalah potongan dari namanya sendiri-- menuliskan: "Dan mencintai adalah sesuatu yang agung di dunia ini. Mencintai bagiku adalah mengerti, memberi, dan memaafkan."  Sementara dalam PSK, Charles, seorang lelaki berkebangsaan Perancis, seorang Diplomat, suami Sri, tokoh aku dalam novel ini adalah lelaki dengan watak yang kasar. Keseluruhan darinya adalah berisi kekasaran dan gemar marah. Ia kerap membentak dan sikap tidak memanusiakan manusiakan istrinya sendiri, kekasihnya.

Sementara Sri, istrinya, adalah seorang perempuan yang lahir dan bertumbuh dalam lingkungan yang lembut, seorang penari yang dekat dengan kehalusan, kepekaan rasa, dan dalam pada memaknai setiap gerak kehidupan ini. Sri yang juga seorang penyiar radio di masa mudanya ini, dikarenakan kedalaman diri dan kehidupan-kehidupan luhur yang melingkupinya, tidak bisa marah setiap kali suaminya berkata kasar, bersikap buruk atau marah-marah. Sri hanya menangis dan semua kemarahan suaminya menggumpal di dadanya.

Kelembutan dan kemesraan adalah dua simpul yang ditarik oleh Sri dari kebutuhan seorang perempuan. Seorang istri. Seorang kekasih. Dan itu tidak didapatkannya dari lelaki yang katanya mencintainya. Sri hidup dengan hampa dan tertekan. Lebih-lebih, Charles, suaminya itu tidak pernah menunjukkan kesenangan pada keseniwatian yang dimiliki istrinya itu. Sri yang memiliki keahlian menari. Sri yang penari,

Sri mendapatkan pengakuan akan keagungan seni tari dari Negara asalnya itu dari seorang lelaki yang lembut dan mesra. Ialah seorang komandan kapal yang sedang ditumpangi Sri. Di sampingnya Sri merasa sangat bernilai. Dan Sri memang sangat bernilai di mata lelaki itu, Michel. Sri yang pada akhirnya di depan suaminya  merasa menjadi perempuan cerewet dan berkata dengan menusuk sebagai kebutuhannya untuk membalas dendam dan menuangkan kebenciannya, kembali dapat meresapi kelembutannya saat menari pada malam penyamaran. Sebuah pesta di kapal malam itu. Sri juga menemuka kelembutan dan kemesraan seorang lelaki sebagai pemenuhan hasrat kewanitaannya, juga di kapal itu. Yaitu dari Michel, seorang lelaki yang benar-benar mencintainya sepenuh hati.

"Kau bahagia, Sri?" kata Michel sambil memandangi perempuan yang ada dalam pelukannya. Sebuah pertanyaan yang justru tidak pernah didengarnya dari suaminya yang memang tak pernah membuatnya bahagia. Hati Sri semakin haru kepada Michel, dan merasakan bahwa Michel lah kekasih hatinya. Yang mengerti dirinya seutuhnya.

Saya melihat NH Dini sebagai penulis perempuan yang sangat piawai. Tak hanya tema dan idenya yang dalam. Yang hampir tidak terekam penulis-penulis perempuan lainnya. Padahal, hal itu merupakan persoalan mendasar perempuan mana pun di dunia ini. NH Dini yang memang seorang penari, dan juga penyiar radio sebagaimana Sri, memiliki kepiawaian menghadirkan kisahnya dengan lembut dan dalam. Seperti karakter Sri, sebagai seorang perempuan Timur di tengah perempuan-perempuan Barat di sekeliling suaminya. Sungguh, saya salut dengan tekhnis penulisan NH Dini yang khas. Sebagaimana Pramoedya yang juga memiliki karakter khas nan kuat.

Saya juga punya penilaian tersendiri tentang kehidupan NH Dini sendiri dan Sri tokoh perempuannya itu. Dini yang juga menikah dengan seorang lelaki Perancis yang juga berakhir dengan perceraian.

Saya pun, membaca Sri, seakan membaca diri saya sendiri. Pergulatan batin Sri saat mendapati kekasaran suaminya, saya pun memahami. Saat mula-mula Sri hanya menangis setiap sikap kasar dan buruk kerap mengecewakan hatinya. Saat Sri merasa menjadi cerewet dan mulai merasa jahat karena perkataan-perkataannya. Saya pun melihat hal itu sebagai semacam kebencian dan perasaan ingin menyakiti hati, sebagaimana yang selama ini kerap didapatinya namun hanya dapat dijawab dengan derai tangis. Saya tahu. saya memahami.

Dan oleh karena itu, saya akhirnya tahu mengapa cinta pertama saya adalah seorang lelaki yang lembut. Dan baru saja saya patah hati oleh karena seorang lelaki yang lembut. Juga, saya sakit mendalam karena kekasih yang berkata kasar justru di saat saya baru saja memahami bagaimana itu perasaan ingin bertemu.

Ah, jadi teringat seorang teman sastrawan yang membuat saya mencari-cari novel ini: "Nduk, kamu itu kayak Sri dalam novel Pada Sebuah Kapalnya NH Dini. Dia penari, public speaking, dan penulis. Karaktermu sangat sama dengan Sri, Nduk!"


Malang, 04 Desember 2016







Kamis, 10 November 2016

Mata Juminten


pexels.com


Di sana,/Di tempat yang katanya pencetak peradaban/Ada yang takterlihat/oleh mata/Ada yang tak terdengar oleh telinga/Ada yang tak teraba oleh indra/Ada yang tak tersentuh oleh batin Di sana,/Di Tempat Kau memanggilnya ‘Guru’/ Ya. Di sana


Pandangan Juminten menerawang, menembus langit biru yang menangkup di atas pelataran Tamansari. Sesekali beralih pada gentong-gentong putih yang menjadi kuning keemasan, diterpa bias jingganya senja. Juga meja-meja dan bangku-bangku panjang dari kayu jati berukir bunga kantil. Lirik lagu Kemesraan dalam aransemen music keroncong Hetty Koes Endang semakin menebar suasana melankolis Warung Senja itu. Sebuah warung antik di selatan pelataran Tamansari.

Juminten melihat awan-awan putih itu silih berganti menjelma wajah-wajah perempuan. Perempuan-perempuan yang selama dua minggu terakhir ini Juminten datangi. Lalu dengan kepiawaian seorang wartawati yang memiliki kecerdasan investigatif, kisah bersamaan perasaan lara bercampur luka dan kecewa itu mengalir begitu saja. Dari memori mereka. Para perempuan mantan mahasiswi FakultasSyari’ah di salah-satu kampus berlabel Islam.

“Saya harus lulus, Mbak...”

Juminten melihat kedua tangan dengan jari-jari yang panjang nan indah itu menelungkup pada wajah perempuan di depannya, menyembunyikan isak tangis. Nama perempuan ini memang masuk daftar list dalam catatan Juminten. Juminten mendaftar tiga puluh tiga perempuan secara acak dalam lima tahun terakhir ini, yang menjadi mahasiswi bimbingan Mad Ngaceng. Salah seorang lelaki hidung belang yang menggunakan kuasa kursi seorang dosen pembimbing untuk melampiaskan nafsu hewaninya.

Dalam menyusun draf-draf datanya, selain menemukan bahwa rata-rata mahasiswi bimbingan Mad Ngaceng adalah perempuan, Juminten juga menemukan para mahasiswi yang menjadi korban adalah mereka  yang  tanpa aktifitas keorganisian kampus. Baik intra apalagi ekstra. Rupanya, pelaku telah membaca kemungkinan-kemungkinan membahayakan bagi tindakan hewaninya  yang  telah berlangsung selama bertahun-tahun. Selama menjadi pembimbing skripsi. Seekor kelinci bermuka kucing!

“Dan sa… dan saya terpaksa, Mbak! Bapak dan Emak saya sakit parah. Waktu itu saya benar-benar butuh pekerjaan dan harus lulus untuk mendapatkan ijazah sarjana saya,” perempuan itu kembali menangis tertahan, terpaksa memutar ulang masa kelamnya saat menjadi mahasiwi. Di detik-detik terakhir merampungkan administrasi persyaratan siding skripsi.

Bagaimana bisa seorang iblis duduk di kursi seorang pendidik.Ya, seorang pendidik yang jangankan melakukan hal amoral nan menjijikkan seperti itu, guru kencing berdiri saja murid akan kencing berlari. Sekali lagi, Juminten geram: Bagaimana bisa seorang iblis duduk di kursi seorang pendidik.  Bagaimana bisa sampai bertahun-tahun. Bagaimana bisa sampai menjadi seorang guru besar.

Semakin kerja investigasi Juminten berada di tingkat yang dalam, semakin terbelalak nurani kemanusiaannya. Jiwanya sempat mengalami jeda. Bagaimana bisa kenyataan seorang iblis berkelamin hewan yang duduk di kursi-kursi dosen bagaikan akar  yang merambat panjang dan bercabang-cabang.
Semakin dalam Juminten tenggelam, semakin ia tahu banyak sekali iblis berkelamin hewan di sana. Menjadi rahasia umum tak terbahasa. Menjadi kerak hitam dalam pintu yang terkunci rapat. Kepura-puraan  yang  bersembunyi dalam peradaban  yang  palsu. Massif, sistematis, dan terorganisir. Dari ceruk paling bawah sampai pernah yang paling menara.

Dulu, Juminten memang gagal. Teman sekamar kostnya, Ria, mahasiswi asal Wonogiri yang ayu dan lembut, pernah terjungkal di sudut kehidupan kampus. Dari sanalah pertama kali Juminten tahu, menangis berdua bersama Ria mendapati kenyataan dosen faforit pengampu matakuliah Tasawwuf yang  nampak terlihat saleh,  bahkan nyufi dan kebapak-bapakan menolak menandatangani lembar pengesahan revisi skripsi yang harus ditandatangani pembimbing.

Ria yang mahasiswi polos di mata Juminten hanya menangis tertahan di atas sepatu dan rok panjangnya ketika mendengar pemintaan barter antara tandatangan pengesahan dan dua bibir perawan miliknya. Ria lari dengan membawa bayangan menyeringai dan suara yang memantul-mantul di kepalanya itu: “Aku tandatangani nanti malam, setelah kau tidur bersamaku.”Ria menangis, berlabuh pada Juminten. Juminten geram dan ingin muntah! Jiwa aktifisnya nyala.

Pertama,  Juminten menemui Gufron, ketua komisariat organisasi ekstra kampus. Pertama sekali Gufron terperanjat. Dia malu mengaku kecolongan dan justru berterimakasih dan berjanji akan bekerjasama dengan Juminten dalam kasus ini. Tapi sial, Gufron terdiam seribu bahasa saat Juminten menyebut satu nama. Juminten melihat, Gufron sebagai lelaki dan pemimpin yang menelan omongannya sendiri. Kelak, Juminten tahu, nama yang disebutnya adalahnama paling disegani oleh paraaktifis kampus. Nama yang memiliki kekuatan berlabirin tebal.

Juminten memilih jalan sunyi. Dilihatnya dengan jeli nama-nama dosen di kampusnya yang terlihat berjiwa jernih. Beberapa sangat terperanjat, beberapa semakin mendekatkan Juminten pada fakta yang menjadi rahasia umum di kalangan atas. Juminten terbelalak. Beberapa memintanya mundur,  karena akan menodai nama kampus dan segala dana yang mengucur akan mandeg. Juminten mental, tanpa solusi.

Juminten tidak mau kalah. Dia tetap menggeliat bersama beberapa teman kepercayaan. Kini lewat LSM-LSM  perempuan. Sampai suatu malam, kamar kostnya kosong. Ria tidak ada beserta semua barang-barangnya. Sepucuk surat dari Ria meminta Juminten melupakan segalanya. Ria mengatakan telah mendapatkan tandatangan tanpa menceritakan bagaimana kronologinya. Bulan depan, Ria sudah bisa wisuda. “Jangan resah Juminten, teman kesayanganku,  perempuan hebat, aku masih perawan. Sungguh. Tapi tolong, berhentilah! Sudahi semuanya. Demi aku,” ternganga Juminten membaca kalimat akhir Ria.

Juminten mengumpat. Merasa kecolongan. Kecerdasan intelegensinya mengatakan, salah satu dosen yang didatanginya adalah bagian dari kaki cumi-cumi yang ingin ditangkapnya. Dan dia tahu, manakala satu kaki tertangkap, semua kaki sampai kepala akan terungkap. Sekali lagi Juminten mengumpat dan tersandar di dinding kamar kost. “Oh, Ria! Mengapa kau tidak menjadi kuat!” Tapi Juminten sangat mengerti, bahwa kejahatan yang sangat teroganisir, rapi, dan sunyi ini bukanlah tandingan seorang Ria. Mungkin juga dirinya sendiri, bilamana tahu segelap apa kejahatan yang sedang dihadapinya.

Azan maghrib pecah menggantikan keroncong Hetty Koes Endang. Wajah-wajah perempuan di atas langit pudar bersamaan senja yang turun. Juminten terkejut, dering watshappnya berbunyi. Mata Juminten membeliak dan mulutnya sedikit menganga demi membaca pesan dari teman wartawannya: “Kasus kita ditutup. Argumen tidak jelas.Ini kejahatan, Juminten!”



Malang, 21102016

Rabu, 21 September 2016

Meninggalkan Sadulang Kecil…



Hari Kelima Belas: Sabtu, 02 Juli 2016

Bergetar jiwaku hari ini. Merayakan hari raya di pulau ini gagal. Sepertinya doa bapak-ibukku sangat didengarkan Tuhan. Aku mengepak baju-baju ke dalam koper dengan perasaan tak menentu. Aku lihat wajah Eeng sekelebat. Gadis gemuk yang manis ini sudah seperti adik sendiri rasanya. Eeng termangu melihatku menata baju-baju.Tapi aku harus cerewet seperti biasa, tak baik kesedihan ditampakkan, begitu dawuh Gus Mus.

Daman sudah siap dengan tas ranselnya. Ibunya Eva dan Datuk di ruang tengah, mengaku terkejut dengan kepulangan kami yang katanya begitu cepat dan semendadak ini. Aku jawab dengan berseloroh saja, bahwa aku tak mau lama-lama karena takut dikawinkan di sini. Sontak semua tertawa.

Aku seret koperku dari dalam kamar. Ibu Eva memberi uang padaku dan Daman, Datuk memberi kami jajan untuk cemilan di kapal katanya. Duh, aku tambah sedih, merasa bukan di kampung orang. Tapi sekali lagi, aku tak boleh menangis. Tidak boleh!

Ibu repot mencari ikan untuk kami bawa, tapi aku menolak dengan alasan berat, repot yang mau bawa. Meski sesungguhnya aku ingin sekali membawa, karena lidahku sudah ketagihan pada ikan. Akhirnya Daman membawa satu kardus ikan kering.

Aku berbicara suatu hal pada Jun, dan ini rahasia, kamu tak boleh tahu. Aku keluar, memanggil Lingling yang sedang bermain lumpur dengan Amrullah, beberapa tetangga sampai membantu meneriaki, tapi kedua bocah pelipur lara saat aku kangen rumah itu terlalu asyik dengan lumpur dan air sepinggang mereka. Aku gagal mencium pipi kanan dan pipi kiri Lingling sebagai cium perpisahan.

Uwwak, menasehati kami selayaknya seorang ayah. Dan pesannya, jangan kapok bermain ke sini. Uwwak mengaku sedih dengan kepulangan yang semendadak ini, karena tidak bisa membawakan ikan banyak hasilnya melaut. Oh uwwak! Betapa aku ingin makan ikan yang langsung dari tangkapan tanganmu sendiri.

Kami masih diminta makan agar tidak lapar nanti di kapal. Di atas lincak mamak meneriaki kami mengapa pulang cepat-cepat. Tentu saja mamak begitu terkesan pada Daman yang membantu membuat bubu, juga pengalaman kami membantunya abubu kala itu, kenangan yang sangat berkesan denganmu, Mak!

Ibu juga memberi aku dan Daman sangu. Sambil menasehati suatu hal. Kami melangkah meninggalkan rumah dengan perasaan berat. Daman apalagi, wajahnya begitu murung semenjak tadi. Kami menyusuri jalan perkampungan yang becek dan penuh air disertai pandangan selamat tinggal dari penduduk kampung. Ada yang berlari ke arahku, dan memberikan uang dengan menggegam tanganku sangat erat, sambil tersenyum dan mengangguk tak henti-henti. Mungkin beliau menyangka aku tak mengerti bahasa Madura. Aku balik menggenggam tangannya kuat-kuat sambil mengatakn terimakasih dan menggangguk berkali-kali seperti dirinya.

Para penduduk kampung berkumpul di pelataran rumah dimana perahu taksi yang akan kami tumpangi menambat. Aku menyalami semua orang yang ada di sana sambil tersenyum tak henti-henti. Aku peluk Eeng erat-erat, mendoakan sepupu Jun yang beberapa hari lagi akan menikah.

Terakhir aku salim pada ibu dan Mamak lalu mengikuti Jun dan Daman melompat ke perahu taksi yang sudah berisi beberapa orang yang juga akan meninggalkan Sadulang Kecil, tempat mereka mudik dari rumahnya di Bali.

Pagi menjelang siang itu, kami dilepas penduduk kampung juga hutan bakau yang berada di sepanjang bibir pulau Sadulang Kecil bagian selatan…





Kembali Berlayar

Sebelum perahu menambat, aku melihat kapal Sabuk Nusantara yang kemarin kutumpangi menambat di pinggir geladag beton. Setelah kami menjejakkan kaki lagi di dermaga Sapeken ini, aku melihat ternyata ada dua kapal pagi ini. Kapal perintis warna hijau itulah yang merupakan kapal gratis dari Bupati Banyuwangi. Kapal yang akan aku dan Daman tumpangi menuju Banyuwangi.

Sementara Jun mengurusi tiket gratis kami di loker, aku membeli gorengan, air mineral, juga jeruk untuk bekal di kapal nanti. Karena harga makanan di kapal pasti berkalilipat lebih mahal.

Semuanya beres, kami berjalan ke geladag alias jembatan beton yang panjang dan luas. Mataku masih memayar kemana-mana untuk menyimpan momen dermaga ini yang terakhir kalinya. Saat mataku menoleh ke bawah, kukira air laut berwarna hitam, ternyata itu adalah warna ikan yang menggerombol banyak sekali. Banyak sekali tanpa jeda.



Itu mbak yang kemarin punya kucing angora, kata Jun saat kami sudah berada di atas kapal. Kapal ini hanya terdiri dari satu lantai untuk penumpang dan didominasi warna hijau. Ada dua tempat luas yang atapnya ditutup terpal. Satu penuh, dan di sana Jun menyimpan koporku. Daman seperti keberatan, dia mengatakan satu tempat lagi kosong, tidak ada orang sama sekali. Tapi semua tas sudah terlanjur ditata.

Kami megobrol di pagar kapal sambil menikmati gorengan. Jun mengatakan akan menikah saja. Aku dan Daman mendukung. Sampai peluit dibunyikan, Jun tersentak dan cepat-cepat berpamitan kepada kami lalu turun dari kapal.

Daman mengangkat kopernya, memindahkannya ke tempat belakang. Lalu setelah ibu menelfon dan aku melapor, Daman juga memindahkan tasku jadi satu dengan tasnya. Dalam hatiku aku tertawa menang.

Sampai sore Daman tidur. Bangun-bangun minta tolong dibelikan pop mie. Ternyata dia mabuk, karena kasihan aku menuruti permintaannya. Sementara Daman makan, aku turun ke bawah menatap lautan melewati pagar, sambil merenung-renungkan perjalanan gilaku ini.

Saat aku ke kamar mandi yang berada di paling belakang kapal, aku menangkap suara deru mesin yang sangat keras dan memekkan telinga. Suaranya berat juga seram seperti suara monster. Dan getaran mesinnya merambat sampai jantungku yang sedang membersihkan muka di dalam kamar mandi.

Sore datang dengan sederhana. Senja membias saat langkahku terhenti di dek kapal bagian barat dan naik ke sekoci di samping pagar. Di sana aku berlama-lama menikmati suguhan lautan di saat senja di atas kapal berwarna hijau dan putih. Aku tercenung mengeja hidup.

Begitulah. Senja selanjutnya dihantarkan menuju malam oleh suara tim nakhkoda yang menyanyi keras-keras lengkap dengan gendang, gitar, dan sepertinya juga ada suara jimbe. Kapal besar yang hanya ditumpangi sekitar dua puluh limaan orang ini jadi terasa sangat asyik. Seperti sedang nongkrong bersama teman-teman di salah-satu warung kopi Jogja.

Saat malam telah turun dan aku memilih duduk di atas, Daman datang dari bawah, mukanya kecut. “Gila! ngeri sekali. Aku melihat ikan paus sebesar kapal ini berenang mengiringi kapal!” Aku melonjak kaget, ingin segera turun tapi urung. Mula-mula Daman merasa ganjil melihat laut berwarna hitam tanpa ombak dan tanpa buih di bawah dan sepanjang bibir kapal seperti biasanya. Setelah memperhatikan betul, Daman seakan melonjak melihat ikan paus besar sekali. Seram, mengerikan, katanya.

Sekitar jam sepuluh ada sms masuk. Dari situ aku tahu bahwa kami sudah dekat dengan pulau. Aku turun lagi, dan betul saja lampu-lampu di sepanjang pulau Banyuwangi sudah tampak seperti kunang-kunang yang beterbangan.

Entah jam berapa, kapal menambat di Dermaga Banyuwangi. Aku kadung terpaut menikmati pesona gemerlap lampu-lampu di Dermaga Banyuwangi. O… begini rupanya perasaan melihatnya, bagi jiwa yang lama tak disentuh hiruk-pikuk dunia luar.

Menggelandang di Tanjungwangi
Di temani malam, aku dan Daman berjalan dari Dermaga sampai area stasiun Banyuwangi Baru. Jalanan besar tidak ramai, tapi juga tidak sepi. Beberapa calon penumpang kapal tampak berjalan-jalan. Kami memilih berjalan, karena aku tahu, sebagaimana Jun, Daman juga menyimpan dendam serapah kepada supir angkot gara-gara malam keberangkatan. Aku terkekeh-kekeh.

Di depan Indomart kami istirahat sambil ngecash, beli pulsa, beli ini-itu. Daman yang akses signalnya merdeka cekikikan sendiri di depan HPnya. Aku mengobrol dengan gerombolan ABG lelaki seumuran adik pertamaku, mereka sekolah SMK di Malang dan sedang magang di Bali. Obrolan semakin lanyah saat kami saling tahu ternyata kami tetangga. Rumah kami sama-sama dekat area stasiun Kotalama.

Apalagi saat mereka merasa mendapatkan informasi seputar jadwal kereta api dariku yang lumayan sering PP Banyuwangi Malang atau sebaliknya, kami merasa tambah akrab. Mereka memanggilku mbak, dan Le aku sematkan saat memanggil mereka. Kami menggunakan bahasa Jawa Timuran dan beranjak menuju stasiun bersama-sama. Apalagi kami satu kereta.

Daman pun tidak jadi naik bus, dia ternyata lebih baik dari yang aku kira. Dia mengantarku sampai stasiun, dan aku menawarkannya untuk sekalian saja naik kereta bersamaku dan adik-adik baru ini.

Di depan stasiun yang masih tutup, kami mengobrol lagi sambil duduk sembarangan. “Sampean penyanyi tah, Mbak ndek Jogja?” tiba-tiba salah seorang dari tole bertanya begitu. Aku dan Daman ngakak-ngakak. Tentu saja Daman menjawab pakai lebay.

Semenjak keberangkatan dan selama di Pulau, sesungguhnya aku dan Daman tidak bisa akur alias sering bertengkar. Cerita kepulangan pun sebenarnya ditaburi pertengkaran-pertengkaran aneh, tapi semenjak di stasiun ini, pertengkaran kami agak mereda. Sampai di dalam kereta, kami masih setia saling mengejek dan mengumpat. Tak tanggung-tanggung kosa kata Asu, Bodoh, Goblok dan kosa kata bermakna dalam lainnya kerap memenuhi bercandaan kami.

Sampai aku capek digoblok-gobloki dan menggoblog-gobloki, aku tidur pulas. Daman turun terlebih dulu. Kami berpisah dengan saling menggenggam tangan sendiri dan saling memukulkan. Saat itulah aku tahu, bahwa aku dan Daman bersahabat. Pertengkaran dan percekcokan dahsyat kami selama ini menunjukkan cara kami mengekspresikan kedekatan seorang teman.

Beberapa penumpang tidak bisa tak memperhatikan kami saat kami saling teriak sebelum Daman berlalu dan turun dari Kereta. Di Stasiun Kotalama, adik keduaku, Rois dan bapak sudah menunggu. Sesaat wajah Jun, uwwak, ibu, Eeng, Eva, Datuk, Lingling berkelebat sebelum aku tersenyum pada Rois dan bapak.[]

Malang, 17 Sepetember 2016


   

Saat Alam Bermain Teater


Hari Ketiga belas: Kamis, 30 Juni 2016

Hari ini kami tidak kemana-mana. Semenjak pagi aku membantu ibu membuat kue untuk lebaran. Selain aku dan Eeng, Fitri seorang bocah SD yang tinggal di Bali dan sedang mudik ke pulau ini juga membantu kami. Dia sangat ceriwis dan menggunakan bahasa Indonesia untuk percakapan sehari-hari.  

Sementara itu, Jun bersama uwwak dan beberapa saudara laki-laki pergi ke Pagerungan dan Saular, kalau tidak salah dengar untuk mencari kayu. Agak siang Daman bergabung membantu kami dan mulai menampakkan ketengilannya dengan meladeni Fitri ngobrol memancing keceriwisan anak kecil.

Hari ini aku dan Jun mengobrol setengah serius (karena kami hampir tidak pernah ngobrol serius).  Jun memintaku untuk pulang setelah lebaran saja bersamanya. Aku juga tahu, maksudnya agar dia tidak berlama-lama di rumah. Jikalau aku pulang dulu, Jun akan berada di rumah lebih lama lagi. Melihat ibu, aku paham, betapa ia sangat merindukan dan ingin tinggal lebih lama bersama anak pertamanya yang lama merantau ini.
Aku gamang. Antara iya dan tidak.

Aku alihkan kegamangan dengan mengajak Eeng menonton Life Of Pie. Anak pulau ini berteriak-teriak histeris melihat Pie tergulung-gulung badai dahsyat. Ternyata, badai selama ini yang dilihat dan dirasakannya belumlah apa-apa, katanya. Kami jadi ingat badai di atas kapal kemarin. Kami terkikik.

Tepat pukul setengah lima aku mendapati langit di atas pulau sampai timur mangrove, juga barat laut nampak begitu indah. Langit seperti sisik ikan, ya, awannya berbentuk sisik. Langit memang menjelma ikan raksasa berwarna  biru yang penuh dengan sisik berwarna putih.
Sampai sore ini langit di belakang rumah masih dipenuhi awan, meski tidak rapat karena itulah terlihat seperti sisik, beberapa bagian bersih dari awan hingga langitnya yang biru terlihat bersih.

Tapi senja yang bulat kuning telor tidak terlihat. Hanya biasnya yang jingga cemerlang di balik awan. Beberapa bagiannya yang tanpa awan terlihat bercahaya cerah. Sementara air laut tidak tenang seperti senja biasanya. Meski sedang surut, permukaan air tampak seperti gerombolan ikan yang lari ke sana ke mari dalam arah yang berlawanan. Warnanya masih putih sebagaimana putihnya awan di atas langit.

Bagian barat agak ke utara nampak cemerlang. Senja yang jingga kekuningan tempias pada permukaan laut. Dan saat menulis ini tubuhku tersorot cahayanya. Jingga kekuningan. Kerudungku yang biru toska, bajuku yang abu-abu dan sarung hitam batik bunga menyerap cahaya jingga. Wajahku penuh menjadi wajah jingga, silau kacamataku di buatnya. Bagian selatan awan penuh hingga mendekati warna abu-abu.

Perahu kecil berwarna putih di permukaan air terlihat tenang nan puitis. Dua perahu putih di atas kayu penyangga dan perahu kecil berwarna hijau yang berada di bawahnya rata pula dihampiri warna jingga senja. Senja seperti bercermin pada lautan. Tiap biasnya terlihat di permukan airnya.

Aku berada di belakang rumah, duduk di atas tembok batu karang sampai bisa melihat senja yang bulat utuh berwarna jingga, tanpa mendung sedikitpun. Lalu awan membawa mendung. Alam berbolak-balik, bergantian memberi suguhan alam kepadaku. Kenapa? Seolah memberikan salam perpisahan kepadaku. Hingga sore ini ia memamerkan keindahannya berganti-ganti dan secara totalitas. Menunjukkan penampilan terbaiknya.

Jingga sudah begitu pekat. Saking pekatnya hampir merah dan awan yang berserak di atasnya jadi keemasan. Bagian atasnya seperti permukaan santan yang sangat kental. Eeng dan tiga anak lelaki di atas sampan uwwak yang ada di bawahku sedang menirukan iklan Djarum Coklat.

Mengapa awan di belakangku berwarna merah jambu lembut? Akankah karena efek mentariyang  akan tenggelam? Namun awan di atasku berwarna putih keabu-abuan

Adzan maghrib datang. Kutinggalkan langit dalam keadaan merah.

Sementara Jun menggoreng ikan pare, aku mengulek sambel asem di atas cobek. Ibu memasak ikan rebus. Kami berbuka dengan penuh khidmat.

Malam hari, kami bertiga mengobrol soal kepulangan. Jun terlihat lebih pasrah, memberikan keputusannya kepadaku. Sementara aku dan Daman setia berdebat panjang. Intinya Daman tidak ingin pulang bersamaku, saat aku tanya dia tidak sedia memberikan alasan.

Kami saling mengumpat lagi, tapi kali ini umpatan agak sopan karena menyadari beberapa tetangga juga sedang menghabiskan malam di atas lincak depan rumah masing-masing. Keakraban kami yang berupa umpatan itu rupanya sejak tadi didengarkan tetangga depan rumah yang sedang mencuci piring di atas lincak. Ibu itu tertawa dan menyadarkan kami yang sedang saling mengumpat, dan kami pun sontak diam disusul nyengir kepada sang tetangga.

Sadulang Kecil, 30 Juni- Malang, 17 September 2016

Pulau Saredeng dan Hujan di Pagi Hari

Hari Keduabelas: Rabu, 29 Juni 2016

Pagi ini pun air langit masih menetes pada tanah di pulau ini. Tidak deras, hanya saja ritme turunnya air menandakan hujan akan turun cukup lama. Benar saja, sampai hampir pukul delapan hujan masih turun rintik-rintik.

Aku sempat berlari ke belakang, melongokkan kepala dari pintu. Aku lihat air laut pasang. Permukaan airnya berwarna abu-abi seperti warna mendung di atas langit sana.Kapal uwwak yang berwarna putih terbawa air pasang sampai ke tengah. Entah bagaimana ceritanya kapal itu sudah ditambatkan lagi di belakang rumah.

Paklek dan sepupu Jun dari jalur ayah beserta istrinya datang dihantar hujan yang telah menjadi gerimis. Mereka bercakap-cakap seru, menyebut-nyebut kapal uwwak beberapa kali. Juga tantangan beberapa nelayan untuk adu cepat kapal. Mereka semua percaya, tidak akan ada kapal secepat kapal uwwak. Kapal uwwak mesinnya bagus. Ibu pernah cerita, kapal yang baru dibeli itu seharga seratus juta. hihu

Sampai aku mendengar sebuah rencana yang dianggap berani oleh ibu, sebuah rencana menjajal kapal uwwak yang baru beberapa hari lalu usai direparasi mesinnya. Berlayar menuju pulau Saredeng, melewati lautan luas berombak besar dengan cuaca buruk seperti ini!

Sungguh Jun memang berasal dari keluarga gila. Gila di sini, adalah sekumpulan manusia yang berfikir dan menjalani hidup unlinier. Iya dong, bagaimana bisa hidup bilamana menjalani hidup dengan linier di tengah rimba lautan dengan segala macam konsekuensi mengerikannya?

Disapa Badai

Jujur saja, bagian ini akhirnya aku tulis paling akhir. Beberapa kali aku urung menulis bagian cerita ini. Belum-belum aku sudah merasa tidak sanggup menggambarkannya. Bukan karena lebay merasa ngeri, bukan! Aku hanya merasa apa yang nantinya akan aku ceritakan sungguh jauh dari kenyataannya. Karena pengalaman sedahsyat ini hanya bisa ditangkap utuh saat merasakannya sendiri, Kawan! Ya, aku telah berlayar di tengah badai untuk pertama kalinya.
Perasaanku ini sangat jauh dari debar dan ketegangan saat menonton film-film berlatar lautan badai lengkap dengan segala cerita heroiknya. Sungguh berbeda! Jelas!

Akhirnya, persekongkolan Jun bersama Ji (paklek) dan sepupunya membuahkan hasil. Kapal dilayarkan meski gerimis masih sanggup membasahi tubuh kami. Meski mendung masih setia menggantung di langit dengan rata.

Aku, Daman, Eeng, Eva, Atun, istri sepupu Jun, Ji, sepupu Jun, dan seorang anak kecil laki-laki ikut serta. Tujuan kami adalah ke Pulau Saredeng Kecil, pulau dimana pasangan sepupu Jun tinggal, juga Mak Uwa, nenek Jun dari jalur ayah.

Kapal kami berlayar saat langit berwarna buram, dan air hujan menetes agak besar. Kami melompat ke dalam kapal bergantian. Lantai kapal yang berwarna putih licin karena air hujan. Kapal kami meninggalkan bibir laut Sadulang Kecil dengan tegas.

Aku menoleh ke belakang, banyak mata penduduk menyaksikan kapal baru ini berlayar pertama kali di di tengah cuaca yang tidak bisa dikatakan baik. Penduduk penuh melongok dari ujung utara sampai ujung  selatan. Aku tidak bisa menerka-nerka apa yang ada dalam pikiran mereka. Hanya satu harapanku, yaitu mereka bisa kembali menyaksikan kapal ini menambat lagi dengan selamat di bibir pulau ini, lengkap dengan seluruh penumpangnya, tanpa kurang suatu apa.

Masuk lautan pulau Saular, ombak telah terasa. Kapal yang sesungguhnya bisa berjalan cepat ini bergoyang-goyang di atas gelombang. Hujan masih setia, meski tak deras. Daman pindah ke bagian paling belakang kapal. Dia duduk menghadap belakang di belakangku dan Eeng yang sebenarnya sudah duduk di bagian belakang. Kakinya menggantung dan bila ombak besar datang, kakinya bisa basah.

Hujan semakin deras, datang bersamaan angin kencang. Seisi kapal berteriak, ada yang karena senang merasakan sensasinya dan ada pula yang berteriak takut. Kakak ipar perempuan Jun mengatakan padaku bahwa dia mabuk. Dia heran mengapa aku yang orang baru tidak mabuk. Aku menggeleng sambil tersenyum. Ombak semakin ganas. Angin semakin keras. Kapal pun semakin entah bergoyang ke kanan-ke kiri cukup tinggi. Lalu turun di bawa air dengan cepat.

Aku melihat air laut berwarna abu-abu menyeramkan. Aku dan eeng agak berteriak pada Daman supaya berpegangan pada besi kuat-kuat. Aku ngeri melihatnya, tapi dia tidak menggubris. Daman hanya terdiam kaku melihat pemandangan yang mungkin pertama kali untuknya, juga tentu saja bagiku.

Aku lupa bagaimana badai itu datang menghantam kapal kami yang seperti kelelahan diamuk ombak. Angin tak jelas ke mana akan membawa kapal kami. Aku berteriak lagi pada Daman, dan untuk kali ini aku menangkap kengerian dari tubuhnya. Tergeragap tangannya mencari pegangan besi di belakangku dan Eeng. Aku membaca solawat di dalam hati. Semua berteriak sambil berpegangan keras-keras pada apapun di sekitarnya.

Kapal kami seperti akan tenggelam dengan kemiringan yang sudah tidak stabil. Kapal miring ke kiri menyentuh perairan yang penuh gelombang. Air juga telah masuk ke perut kapal. Para lelaki, yang berada di ujung depan saling berteriak dengan sepupu jun yang mengemudi di dalam, di depan kami. Mereka saling berteriak melempar instruksi dan melakukan hal dengan cepat, sigap, dan tangkas sampai keseimbangan kapal kembali bisa dibilang tidak membahayakan meski belum bisa dibilang aman.

Kapal masih bergoyang-goyang keras di tengah ombak ganas di bawah langit yang gelap. Mataku menyapu langit dan lautan bagian depan. Semuanya berwarna abu-abu gelap, diselimuti angin yang mengerikan. Aku menoleh ke belakang. Begitupula kudapati. Lautan, langit, dan alam disekeliling yang menyelimuti kapal kami hanya satu warna, abu-abu gelap. Dengan angin yang berbunyi ganjil. Seperti suara iblis yang berteriak-teriak meminta tumbal.

Entah berapa lama aku terdiam menikmati suasana ini ketimbang berteriak-teriak seperti yang lain. Aku berusaha sebisa mungkin tidak mengambil jarak dengan alam. Setelah badai mereda dan goyangan kapal tidak seekstrim tadi, suasana kapal pun menjadi tenang. Aku menikmati goyangan demi goyangan kapal yang dibawa ritme gelombang besar. Menoleh ke belakang, aku melihat kabut putih di satu titik, di antara alam yang berwarna abu-abu gelap. Instingku mengatakan, itulah hujan. Mendung di dalam awan yang tersapu angin.

Sampai mendekati lautan Saredeng, langit telah cerah, tapi laut dan langit di belakang sana, tetap berwarna abu-abu gelap. Semua keluar dengan ceria, seperti tidak pernah terjadi apa-apa di laut sana. Aku dan Daman masih sama-sama terdiam. Memaknai dan menyimpan kenangan maha dahsyat di belahan laut sana.

Wajah Jun memergokiku, seperti biasanya setiap ada hal dahsyat yang ingin dipamerkannya tercapai. Aku akui, itu tadi memang keren!

Mak Uwa

Kami melompat dari kapal ke geladag kayu bergantian. Pulau Saredeng terkesan ceria, apalagi dengan keadaan langit yang baru usai dibersihkan dari mendung oleh hujan. Pulau Saredeng Kecil ini tidak lebar. Sepertinya empat kali lipat lebih lebar pulau Sadulang Kecil.

Rumah-rumah hanya terdiri dari dua baris di bagian barat dan timur. Membujur sepanjang selatan dan utara pulau dengan jalan utama di tengah-tengah, menjadi jarak anatara satu rumah dengan rumah lainnya yang berhadap-hadapan. Saat aku berjalan, dan menoleh ke kanan-kiri, birunya laut sudah terlihat jelas berada di belakang rumah. Aku sempat berfikir, bagiamana kalau badai datang apa rumah tidak akan tersapu air?

Rumah nenek Jun berada di hampir ujung utara pulau ini. Rumah jadul dari gedeg ini malah terkesan antik di mataku. Aku bersama Eeng cepat-cepat ke belakang karena telah lama menahan pipis. Kamar mandinya pun hanya gedeg berbentu kubus ukuran sepinggang orang dewasa. Begitu saja aku membuang air seni itu di tanah. Tidak tahan dengan panorama pantai yang lepas dengan pasir putihnya yang lembut, aku berlari ke pantai. Menjejakkan kakiku di pasirnya. Angin pantai berkesiur segar.

Eeng dan beberapa yan lain berenang. Aku malas berganti baju, dan lebih memilih ikut kakak ipar sepupu Jun ke rumahnya. Rumah sepupu Jun berada di bagian selatan pulau dan mengahadap ke timur. Selalama berjalan ke selatan, aku perhatikan, rata-rata di sebelah kiriku adalah rumah joglo dan bagian kananku adalah rumah gedung. Orang-orang yang beraktifitas di depan rumah masing-masing sangat memperhatikanku sebagai orang baru. Seorang ibu-ibu menanyai kakak ipar Jun bahtwa aku anak salah seorang di Sadulang Kecil. Aku tertawa kecil,rupanya wajahku sudah menyublim sebagaimana wajah orang pulau.

Kembali ke rumah Mak Uwa, aku menyadari cucunya sangat banyak. Saat semua telah bersiap menuju ke geladak kayu dimana kapal kami menambat, dan para perawan menuju selatan pulau, aku menunggui Mak Uwa bersiap-siap. Mak Uwa akan ikut serta bersama kami ke Sadulang Kecil. Mak Uwa akan melewati hari raya di sana bersama anak-cucu. Di rumah gedeg ini beliau tinggal seorang diri. Kata Jun, Mak Uwa tidak mau diajak tinggal bersama anak-anaknya. Dia lebih memlih hidup mandiri.

Berdua bersama Mak Uwa, kami membelah perkampungan pulau ini. Mak Uwa mengenakan sampir dan baju kebaya berwarna coklat. Dalam usianya yang sangat tua ini gurat-gurat cantik masih kentara di wajahnya. Meski tubuhnya sudah agak bungkuk, tapi dia berajalan begit tegas. Niatku yang ingin menemani seorang nenek sebagai yang muda, seperti terbalik arah. 

Mak Uwalah yang seakan-akan mengawalku dan melindungiku. Apalagi detik-detik saat aku akan naik ke kapal, Mak Uwa tampak berjaga-jaga di belakangku. Bahkan berteriak pada jun dengan bahasa yang tak kumengerti. Jun langsung tertawa terpingkal-pingkal. Aku penasaran. “Kata Mak Uwa, kamu suruh digendong saja takut jatuh,” Jun menjelaskan di sela tawanya, aku kontan jadi terpingkal-pingkal bersama Jun. Mak Uwa yang melihat kami, tersenyum saja di antara wajahnya yang telah penuh dengan keriput.

Kami berlayar menuju Sapeken di bawah langit yang cerah. Saking cepatnya, aku tak terasa kalau kapal kami sudah masuk pulau Sapeken. Kami turun dengan melompat dari kapal. Bergerombolan kami berjalan di tengah-tengah pasar ini. Sementara Jun dan Eeng mengingat-ngingat pesanan ibu, aku bertanya harga-harga sayur di sini:Terong 10.000, buncis 12.000, wortel 20.000, kubis 10.000.

Di perempatan pasar yang becek ini, Hansip  rame sekali dengan pentungan dan pluitnya. Menurutku, dia tidak melakukan apa-apa misalnya menertibkan jalan, tapi lebih pada mencari perhatian masyarakat dan menunjukkan eksistensi dan posisinya. Ih!  

Mak Uwa memberiku uang 10.000. Daripada mengikuti para gerombolan anak-anak muda Sadulang itu, aku membuntuti Mak Uwa untuk melihat sisi lain pasar ini. Benar saja, di luar dugaanku, Mak uwa pandai bahasa bajo dan bahasa lainnya saat tawar-menawar dengan beberapa penjual. Mak Uwa adalah orang tua sara pengalaman dan lincah.

Aku yang muda lupa jalanan pasar yang masuk-masuk gang perkampungan ini. Mengikuti Mak Uwa, kami akhirnya sampai lagi di geladag kayu tempat kapal kami menambat. Di ujung geladag aku melihat dua anak kecil sedang mansing. Mereka memasukkan ikan-ikan kecil pada pengait sebagai umpan mendapatkan ikan yang lebih besar. Mereka menggunakan bahasa bajo, tapi bahasa Indonesianya juga lancar. Mereka menjawab pertanyaan-pertanyaanku dngan lugas. Aku ngikik, saat seorang bocah yang kutaksir  berumur sekitar 4 tahun menjawab 10 tahun.

Kualihkan pandanganku menyapu Dermaga Sapeken yang ramai dengan kapal-kapal kecil juga perahu dengan berbagai ukuran. Bergabung dengan Mak Uwa dan seorang ibu-ibu, aku duduk di bangku kayu di atas geladak dengan tutup daun laras. Daman terlihat bercakap-cakap dengan HPnya. Kulempar lagi pandanganku ke jajaran perahu-perahu. Kulihat perahu-perahu taksi atapnya ditutup dengan terpal.

Semuanya sudah datang dan melompat masuk ke dadalam kapal. Karena kapal uwwak yang beberapa kali lebih tinggi dari sampan mamak aku bisa melihat pulau-pulau sebelum Sadulang Kecildengan jelas. Juga pulau-pulau tetangga, pulau-pulau di kiri-kanan.

Sekitar berapa meter dari Sadulang Kecil aku melihat gumpalan awan masih menggantung sepanjang langit-langitnya. Jam 13: 50 kapal kami telah berhasil lagi masuk ke batas laut Sadulang Kecil. Ternyata Sadulang Kecil sudah di sapu mentari.

Kapal kami merambat di atas rumput laut yang panjang-panjang. Kapal berjalan merambat karena sir surut sebelum dekat dengan tembok karang. Ikan melompat-lompat seperti terbang di atas air dimana rumput lautnya tumbuh tinggi.

Asis nama bocah cilik itu. Dia melopat dari kapal untuk mengambil perahu biduk. Kembali lagi ke dekat kapal yang tidak dapat merapat benar di bibir pulau karena air surut sementara kapal terlalu besar. Asis kembali dua kali mengangkut kami dari kapal menuju bibir pulau sampai tembok karang. Perahu itu berwarna putih yang ditarik olehnya dengan berjalan di atas pasir di dasar air, terkadang, mungkin karena lelah atau berat, Asis menariknya sambil berenan[].


Malang, 17 September 2016