Hari Keduabelas: Rabu, 29
Juni 2016
Pagi ini pun air langit
masih menetes pada tanah di pulau ini. Tidak deras, hanya saja ritme turunnya
air menandakan hujan akan turun cukup lama. Benar saja, sampai hampir pukul delapan
hujan masih turun rintik-rintik.
Aku sempat berlari ke
belakang, melongokkan kepala dari pintu. Aku lihat air laut pasang. Permukaan
airnya berwarna abu-abi seperti warna mendung di atas langit sana.Kapal uwwak
yang berwarna putih terbawa air pasang sampai ke tengah. Entah bagaimana
ceritanya kapal itu sudah ditambatkan lagi di belakang rumah.
Paklek dan sepupu Jun dari
jalur ayah beserta istrinya datang dihantar hujan yang telah menjadi gerimis.
Mereka bercakap-cakap seru, menyebut-nyebut kapal uwwak beberapa kali. Juga
tantangan beberapa nelayan untuk adu cepat kapal. Mereka semua percaya, tidak
akan ada kapal secepat kapal uwwak. Kapal uwwak mesinnya bagus. Ibu pernah
cerita, kapal yang baru dibeli itu seharga seratus juta. hihu
Sampai aku mendengar sebuah
rencana yang dianggap berani oleh ibu, sebuah rencana menjajal kapal uwwak yang
baru beberapa hari lalu usai direparasi mesinnya. Berlayar menuju pulau
Saredeng, melewati lautan luas berombak besar dengan cuaca buruk seperti ini!
Sungguh Jun memang berasal
dari keluarga gila. Gila di sini, adalah sekumpulan manusia yang berfikir dan
menjalani hidup unlinier. Iya dong, bagaimana bisa hidup bilamana menjalani
hidup dengan linier di tengah rimba lautan dengan segala macam konsekuensi
mengerikannya?
Disapa Badai
Jujur saja, bagian ini
akhirnya aku tulis paling akhir. Beberapa kali aku urung menulis bagian cerita
ini. Belum-belum aku sudah merasa tidak sanggup menggambarkannya. Bukan karena
lebay merasa ngeri, bukan! Aku hanya merasa apa yang nantinya akan aku
ceritakan sungguh jauh dari kenyataannya. Karena pengalaman sedahsyat ini hanya
bisa ditangkap utuh saat merasakannya sendiri, Kawan! Ya, aku telah berlayar di
tengah badai untuk pertama kalinya.
Perasaanku ini sangat jauh
dari debar dan ketegangan saat menonton film-film berlatar lautan badai lengkap
dengan segala cerita heroiknya. Sungguh berbeda! Jelas!
Akhirnya, persekongkolan Jun
bersama Ji
(paklek)
dan sepupunya membuahkan hasil. Kapal dilayarkan meski gerimis masih sanggup membasahi
tubuh kami. Meski mendung masih setia menggantung di langit dengan rata.
Aku, Daman, Eeng, Eva, Atun,
istri sepupu Jun, Ji, sepupu Jun, dan seorang anak kecil laki-laki ikut serta.
Tujuan kami adalah ke Pulau Saredeng Kecil, pulau dimana pasangan sepupu Jun
tinggal, juga Mak Uwa, nenek Jun dari jalur ayah.
Kapal kami berlayar
saat langit berwarna buram, dan air hujan menetes agak besar. Kami melompat ke
dalam kapal bergantian. Lantai kapal yang berwarna putih licin karena air
hujan. Kapal kami meninggalkan bibir laut Sadulang Kecil dengan tegas.
Aku menoleh ke
belakang, banyak mata penduduk menyaksikan kapal baru ini berlayar pertama kali
di di tengah cuaca yang tidak bisa dikatakan baik. Penduduk penuh melongok dari
ujung utara sampai ujung selatan. Aku
tidak bisa menerka-nerka apa yang ada dalam pikiran mereka. Hanya satu
harapanku, yaitu mereka bisa kembali menyaksikan kapal ini menambat lagi dengan
selamat di bibir pulau ini, lengkap dengan seluruh penumpangnya, tanpa kurang
suatu apa.
Masuk lautan pulau
Saular, ombak telah terasa. Kapal yang sesungguhnya bisa berjalan cepat ini
bergoyang-goyang di atas gelombang. Hujan masih setia, meski tak deras. Daman
pindah ke bagian paling belakang kapal. Dia duduk menghadap belakang di
belakangku dan Eeng yang sebenarnya sudah duduk di bagian belakang. Kakinya
menggantung dan bila ombak besar datang, kakinya bisa basah.
Hujan semakin deras,
datang bersamaan angin kencang. Seisi kapal berteriak, ada yang karena senang
merasakan sensasinya dan ada pula yang berteriak takut. Kakak ipar perempuan
Jun mengatakan padaku bahwa dia mabuk. Dia heran mengapa aku yang orang baru
tidak mabuk. Aku menggeleng sambil tersenyum. Ombak semakin ganas. Angin
semakin keras. Kapal pun semakin entah bergoyang ke kanan-ke kiri cukup tinggi.
Lalu turun di bawa air dengan cepat.
Aku melihat air laut
berwarna abu-abu menyeramkan. Aku dan eeng agak berteriak pada Daman supaya
berpegangan pada besi kuat-kuat. Aku ngeri melihatnya, tapi dia tidak
menggubris. Daman hanya terdiam kaku melihat pemandangan yang mungkin pertama
kali untuknya, juga tentu saja bagiku.
Aku lupa bagaimana
badai itu datang menghantam kapal kami yang seperti kelelahan diamuk ombak.
Angin tak jelas ke mana akan membawa kapal kami. Aku berteriak lagi pada Daman,
dan untuk kali ini aku menangkap kengerian dari tubuhnya. Tergeragap tangannya
mencari pegangan besi di belakangku dan Eeng. Aku membaca solawat di dalam
hati. Semua berteriak sambil berpegangan keras-keras pada apapun di sekitarnya.
Kapal kami seperti akan
tenggelam dengan kemiringan yang sudah tidak stabil. Kapal miring ke kiri
menyentuh perairan yang penuh gelombang. Air juga telah masuk ke perut kapal. Para
lelaki, yang berada di ujung depan saling berteriak dengan sepupu jun yang
mengemudi di dalam, di depan kami. Mereka saling berteriak melempar instruksi
dan melakukan hal dengan cepat, sigap, dan tangkas sampai keseimbangan kapal
kembali bisa dibilang tidak membahayakan meski belum bisa dibilang aman.
Kapal masih
bergoyang-goyang keras di tengah ombak ganas di bawah langit yang gelap. Mataku
menyapu langit dan lautan bagian depan. Semuanya berwarna abu-abu gelap,
diselimuti angin yang mengerikan. Aku menoleh ke belakang. Begitupula kudapati.
Lautan, langit, dan alam disekeliling yang menyelimuti kapal kami hanya satu
warna, abu-abu gelap. Dengan angin yang berbunyi ganjil. Seperti suara iblis
yang berteriak-teriak meminta tumbal.
Entah berapa lama aku
terdiam menikmati suasana ini ketimbang berteriak-teriak seperti yang lain. Aku
berusaha sebisa mungkin tidak mengambil jarak dengan alam. Setelah badai mereda
dan goyangan kapal tidak seekstrim tadi, suasana kapal pun menjadi tenang. Aku
menikmati goyangan demi goyangan kapal yang dibawa ritme gelombang besar.
Menoleh ke belakang, aku melihat kabut putih di satu titik, di antara alam yang
berwarna abu-abu gelap. Instingku mengatakan, itulah hujan. Mendung di dalam
awan yang tersapu angin.
Sampai mendekati
lautan Saredeng, langit telah cerah, tapi laut dan langit di belakang sana,
tetap berwarna abu-abu gelap. Semua keluar dengan ceria, seperti tidak pernah
terjadi apa-apa di laut sana. Aku dan Daman masih sama-sama terdiam. Memaknai
dan menyimpan kenangan maha dahsyat di belahan laut sana.
Wajah Jun
memergokiku, seperti biasanya setiap ada hal dahsyat yang ingin dipamerkannya
tercapai. Aku akui, itu tadi memang keren!
Mak Uwa
Kami melompat dari
kapal ke geladag kayu bergantian. Pulau Saredeng terkesan ceria, apalagi dengan
keadaan langit yang baru usai dibersihkan dari mendung oleh hujan. Pulau Saredeng
Kecil ini tidak lebar. Sepertinya empat kali lipat lebih lebar pulau Sadulang
Kecil.
Rumah-rumah hanya
terdiri dari dua baris di bagian barat dan timur. Membujur sepanjang selatan
dan utara pulau dengan jalan utama di tengah-tengah, menjadi jarak anatara satu
rumah dengan rumah lainnya yang berhadap-hadapan. Saat aku berjalan, dan
menoleh ke kanan-kiri, birunya laut sudah terlihat jelas berada di belakang
rumah. Aku sempat berfikir, bagiamana kalau badai datang apa rumah tidak akan
tersapu air?
Rumah nenek Jun
berada di hampir ujung utara pulau ini. Rumah jadul dari gedeg ini malah
terkesan antik di mataku. Aku bersama Eeng cepat-cepat ke belakang karena telah
lama menahan pipis. Kamar mandinya pun hanya gedeg berbentu kubus ukuran
sepinggang orang dewasa. Begitu saja aku membuang air seni itu di tanah. Tidak
tahan dengan panorama pantai yang lepas dengan pasir putihnya yang lembut, aku
berlari ke pantai. Menjejakkan kakiku di pasirnya. Angin pantai berkesiur
segar.
Eeng dan beberapa yan
lain berenang. Aku malas berganti baju, dan lebih memilih ikut kakak ipar
sepupu Jun ke rumahnya. Rumah sepupu Jun berada di bagian selatan pulau dan
mengahadap ke timur. Selalama berjalan ke selatan, aku perhatikan, rata-rata di
sebelah kiriku adalah rumah joglo dan bagian kananku adalah rumah gedung.
Orang-orang yang beraktifitas di depan rumah masing-masing sangat
memperhatikanku sebagai orang baru. Seorang ibu-ibu menanyai kakak ipar Jun
bahtwa aku anak salah seorang di Sadulang Kecil. Aku tertawa kecil,rupanya
wajahku sudah menyublim sebagaimana wajah orang pulau.
Kembali ke rumah Mak
Uwa, aku menyadari cucunya sangat banyak. Saat semua telah bersiap menuju ke
geladak kayu dimana kapal kami menambat, dan para perawan menuju selatan pulau,
aku menunggui Mak Uwa bersiap-siap. Mak Uwa akan ikut serta bersama kami ke
Sadulang Kecil. Mak Uwa akan melewati hari raya di sana bersama anak-cucu. Di
rumah gedeg ini beliau tinggal seorang diri. Kata Jun, Mak Uwa tidak mau diajak
tinggal bersama anak-anaknya. Dia lebih memlih hidup mandiri.
Berdua bersama Mak
Uwa, kami membelah perkampungan pulau ini. Mak Uwa mengenakan sampir dan baju
kebaya berwarna coklat. Dalam usianya yang sangat tua ini gurat-gurat cantik
masih kentara di wajahnya. Meski tubuhnya sudah agak bungkuk, tapi dia
berajalan begit tegas. Niatku yang ingin menemani seorang nenek sebagai yang
muda, seperti terbalik arah.
Mak Uwalah yang seakan-akan mengawalku dan
melindungiku. Apalagi detik-detik saat aku akan naik ke kapal, Mak Uwa tampak
berjaga-jaga di belakangku. Bahkan berteriak pada jun dengan bahasa yang tak
kumengerti. Jun langsung tertawa terpingkal-pingkal. Aku penasaran. “Kata Mak
Uwa, kamu suruh digendong saja takut jatuh,” Jun menjelaskan di sela tawanya,
aku kontan jadi terpingkal-pingkal bersama Jun. Mak Uwa yang melihat kami,
tersenyum saja di antara wajahnya yang telah penuh dengan keriput.
Kami berlayar menuju
Sapeken di bawah langit yang cerah. Saking cepatnya, aku tak terasa kalau kapal
kami sudah masuk pulau Sapeken. Kami turun dengan melompat dari kapal.
Bergerombolan kami berjalan di tengah-tengah pasar ini. Sementara Jun dan Eeng
mengingat-ngingat pesanan ibu, aku bertanya harga-harga sayur di sini:Terong
10.000, buncis 12.000, wortel 20.000, kubis 10.000.
Di perempatan pasar
yang becek ini, Hansip rame sekali
dengan pentungan dan pluitnya. Menurutku, dia tidak melakukan apa-apa misalnya
menertibkan jalan, tapi lebih pada mencari perhatian masyarakat dan menunjukkan
eksistensi dan posisinya. Ih!
Mak Uwa memberiku uang
10.000. Daripada mengikuti para gerombolan anak-anak muda Sadulang itu, aku
membuntuti Mak Uwa untuk melihat sisi lain pasar ini. Benar saja, di luar
dugaanku, Mak uwa pandai bahasa bajo dan bahasa lainnya saat tawar-menawar
dengan beberapa penjual. Mak Uwa adalah orang tua sara pengalaman dan lincah.
Aku yang muda lupa
jalanan pasar yang masuk-masuk gang perkampungan ini. Mengikuti Mak Uwa, kami
akhirnya sampai lagi di geladag kayu tempat kapal kami menambat. Di ujung
geladag aku melihat dua anak kecil sedang mansing. Mereka memasukkan ikan-ikan
kecil pada pengait sebagai umpan mendapatkan ikan yang lebih besar. Mereka
menggunakan bahasa bajo, tapi bahasa Indonesianya juga lancar. Mereka menjawab
pertanyaan-pertanyaanku dngan lugas. Aku ngikik, saat seorang bocah yang kutaksir
berumur sekitar 4 tahun menjawab 10
tahun.
Kualihkan pandanganku
menyapu Dermaga Sapeken yang ramai dengan kapal-kapal kecil juga perahu dengan
berbagai ukuran. Bergabung dengan Mak Uwa dan seorang ibu-ibu, aku duduk di
bangku kayu di atas geladak dengan tutup daun laras. Daman terlihat
bercakap-cakap dengan HPnya. Kulempar lagi pandanganku ke jajaran perahu-perahu.
Kulihat perahu-perahu taksi atapnya ditutup dengan terpal.
Semuanya sudah datang
dan melompat masuk ke dadalam kapal. Karena kapal uwwak yang beberapa kali
lebih tinggi dari sampan mamak aku bisa melihat pulau-pulau sebelum Sadulang Kecildengan
jelas. Juga pulau-pulau tetangga, pulau-pulau di kiri-kanan.
Sekitar berapa meter
dari Sadulang Kecil aku melihat gumpalan awan masih menggantung sepanjang
langit-langitnya. Jam 13: 50 kapal kami telah berhasil lagi masuk ke batas laut
Sadulang Kecil. Ternyata Sadulang Kecil sudah di sapu mentari.
Kapal kami merambat
di atas rumput laut yang panjang-panjang. Kapal berjalan merambat karena sir
surut sebelum dekat dengan tembok karang. Ikan melompat-lompat seperti terbang
di atas air dimana rumput lautnya tumbuh tinggi.
Asis nama bocah cilik
itu. Dia melopat dari kapal untuk mengambil perahu biduk. Kembali lagi ke dekat
kapal yang tidak dapat merapat benar di bibir pulau karena air surut sementara
kapal terlalu besar. Asis kembali dua kali mengangkut kami dari kapal menuju
bibir pulau sampai tembok karang. Perahu itu berwarna putih yang ditarik olehnya
dengan berjalan di atas pasir di dasar air, terkadang, mungkin karena lelah
atau berat, Asis menariknya sambil berenan[].
Malang, 17 September
2016