Rabu, 21 September 2016

Saat Alam Bermain Teater


Hari Ketiga belas: Kamis, 30 Juni 2016

Hari ini kami tidak kemana-mana. Semenjak pagi aku membantu ibu membuat kue untuk lebaran. Selain aku dan Eeng, Fitri seorang bocah SD yang tinggal di Bali dan sedang mudik ke pulau ini juga membantu kami. Dia sangat ceriwis dan menggunakan bahasa Indonesia untuk percakapan sehari-hari.  

Sementara itu, Jun bersama uwwak dan beberapa saudara laki-laki pergi ke Pagerungan dan Saular, kalau tidak salah dengar untuk mencari kayu. Agak siang Daman bergabung membantu kami dan mulai menampakkan ketengilannya dengan meladeni Fitri ngobrol memancing keceriwisan anak kecil.

Hari ini aku dan Jun mengobrol setengah serius (karena kami hampir tidak pernah ngobrol serius).  Jun memintaku untuk pulang setelah lebaran saja bersamanya. Aku juga tahu, maksudnya agar dia tidak berlama-lama di rumah. Jikalau aku pulang dulu, Jun akan berada di rumah lebih lama lagi. Melihat ibu, aku paham, betapa ia sangat merindukan dan ingin tinggal lebih lama bersama anak pertamanya yang lama merantau ini.
Aku gamang. Antara iya dan tidak.

Aku alihkan kegamangan dengan mengajak Eeng menonton Life Of Pie. Anak pulau ini berteriak-teriak histeris melihat Pie tergulung-gulung badai dahsyat. Ternyata, badai selama ini yang dilihat dan dirasakannya belumlah apa-apa, katanya. Kami jadi ingat badai di atas kapal kemarin. Kami terkikik.

Tepat pukul setengah lima aku mendapati langit di atas pulau sampai timur mangrove, juga barat laut nampak begitu indah. Langit seperti sisik ikan, ya, awannya berbentuk sisik. Langit memang menjelma ikan raksasa berwarna  biru yang penuh dengan sisik berwarna putih.
Sampai sore ini langit di belakang rumah masih dipenuhi awan, meski tidak rapat karena itulah terlihat seperti sisik, beberapa bagian bersih dari awan hingga langitnya yang biru terlihat bersih.

Tapi senja yang bulat kuning telor tidak terlihat. Hanya biasnya yang jingga cemerlang di balik awan. Beberapa bagiannya yang tanpa awan terlihat bercahaya cerah. Sementara air laut tidak tenang seperti senja biasanya. Meski sedang surut, permukaan air tampak seperti gerombolan ikan yang lari ke sana ke mari dalam arah yang berlawanan. Warnanya masih putih sebagaimana putihnya awan di atas langit.

Bagian barat agak ke utara nampak cemerlang. Senja yang jingga kekuningan tempias pada permukaan laut. Dan saat menulis ini tubuhku tersorot cahayanya. Jingga kekuningan. Kerudungku yang biru toska, bajuku yang abu-abu dan sarung hitam batik bunga menyerap cahaya jingga. Wajahku penuh menjadi wajah jingga, silau kacamataku di buatnya. Bagian selatan awan penuh hingga mendekati warna abu-abu.

Perahu kecil berwarna putih di permukaan air terlihat tenang nan puitis. Dua perahu putih di atas kayu penyangga dan perahu kecil berwarna hijau yang berada di bawahnya rata pula dihampiri warna jingga senja. Senja seperti bercermin pada lautan. Tiap biasnya terlihat di permukan airnya.

Aku berada di belakang rumah, duduk di atas tembok batu karang sampai bisa melihat senja yang bulat utuh berwarna jingga, tanpa mendung sedikitpun. Lalu awan membawa mendung. Alam berbolak-balik, bergantian memberi suguhan alam kepadaku. Kenapa? Seolah memberikan salam perpisahan kepadaku. Hingga sore ini ia memamerkan keindahannya berganti-ganti dan secara totalitas. Menunjukkan penampilan terbaiknya.

Jingga sudah begitu pekat. Saking pekatnya hampir merah dan awan yang berserak di atasnya jadi keemasan. Bagian atasnya seperti permukaan santan yang sangat kental. Eeng dan tiga anak lelaki di atas sampan uwwak yang ada di bawahku sedang menirukan iklan Djarum Coklat.

Mengapa awan di belakangku berwarna merah jambu lembut? Akankah karena efek mentariyang  akan tenggelam? Namun awan di atasku berwarna putih keabu-abuan

Adzan maghrib datang. Kutinggalkan langit dalam keadaan merah.

Sementara Jun menggoreng ikan pare, aku mengulek sambel asem di atas cobek. Ibu memasak ikan rebus. Kami berbuka dengan penuh khidmat.

Malam hari, kami bertiga mengobrol soal kepulangan. Jun terlihat lebih pasrah, memberikan keputusannya kepadaku. Sementara aku dan Daman setia berdebat panjang. Intinya Daman tidak ingin pulang bersamaku, saat aku tanya dia tidak sedia memberikan alasan.

Kami saling mengumpat lagi, tapi kali ini umpatan agak sopan karena menyadari beberapa tetangga juga sedang menghabiskan malam di atas lincak depan rumah masing-masing. Keakraban kami yang berupa umpatan itu rupanya sejak tadi didengarkan tetangga depan rumah yang sedang mencuci piring di atas lincak. Ibu itu tertawa dan menyadarkan kami yang sedang saling mengumpat, dan kami pun sontak diam disusul nyengir kepada sang tetangga.

Sadulang Kecil, 30 Juni- Malang, 17 September 2016

0 komentar:

Posting Komentar