Hari ini kami tidak
kemana-mana. Semenjak pagi aku membantu ibu membuat kue untuk lebaran. Selain
aku dan Eeng, Fitri seorang bocah SD yang tinggal di Bali dan sedang mudik ke
pulau ini juga membantu kami. Dia sangat ceriwis dan menggunakan bahasa
Indonesia untuk percakapan sehari-hari.
Sementara itu, Jun bersama
uwwak dan beberapa saudara laki-laki pergi ke Pagerungan dan Saular, kalau
tidak salah dengar untuk mencari kayu. Agak siang Daman bergabung membantu kami
dan mulai menampakkan ketengilannya dengan meladeni Fitri ngobrol memancing keceriwisan
anak kecil.
Hari ini aku dan Jun
mengobrol setengah serius (karena kami hampir tidak pernah ngobrol
serius). Jun memintaku untuk pulang
setelah lebaran saja bersamanya. Aku juga tahu, maksudnya agar dia tidak
berlama-lama di rumah. Jikalau aku pulang dulu, Jun akan berada di rumah lebih
lama lagi. Melihat ibu, aku paham, betapa ia sangat merindukan dan ingin
tinggal lebih lama bersama anak pertamanya yang lama merantau ini.
Aku gamang. Antara iya dan
tidak.
Aku alihkan kegamangan
dengan mengajak Eeng menonton Life Of Pie. Anak pulau ini berteriak-teriak
histeris melihat Pie tergulung-gulung badai dahsyat. Ternyata, badai selama ini
yang dilihat dan dirasakannya belumlah apa-apa, katanya. Kami jadi ingat badai
di atas kapal kemarin. Kami terkikik.
Tepat pukul setengah lima
aku mendapati langit di atas pulau sampai timur mangrove, juga barat laut nampak
begitu indah. Langit seperti sisik ikan, ya, awannya berbentuk sisik. Langit
memang menjelma ikan raksasa berwarna biru yang penuh dengan sisik berwarna putih.
Sampai sore ini langit di
belakang rumah masih dipenuhi awan, meski tidak rapat karena itulah terlihat
seperti sisik, beberapa bagian bersih dari awan hingga langitnya yang biru
terlihat bersih.
Tapi senja yang bulat kuning
telor tidak terlihat. Hanya biasnya yang jingga cemerlang di balik awan.
Beberapa bagiannya yang tanpa awan terlihat bercahaya cerah. Sementara air laut
tidak tenang seperti senja biasanya. Meski sedang surut, permukaan air tampak
seperti gerombolan ikan yang lari ke sana ke mari dalam arah yang berlawanan.
Warnanya masih putih sebagaimana putihnya awan di atas langit.
Bagian barat agak ke utara nampak
cemerlang. Senja yang jingga kekuningan tempias pada permukaan laut. Dan saat
menulis ini tubuhku tersorot cahayanya. Jingga kekuningan. Kerudungku yang biru
toska, bajuku yang abu-abu dan sarung hitam batik bunga menyerap cahaya jingga.
Wajahku penuh menjadi wajah jingga, silau kacamataku di buatnya. Bagian selatan
awan penuh hingga mendekati warna abu-abu.
Perahu kecil berwarna putih
di permukaan air terlihat tenang nan puitis. Dua perahu putih di atas kayu
penyangga dan perahu kecil berwarna hijau yang berada di bawahnya rata pula
dihampiri warna jingga senja. Senja seperti bercermin pada lautan. Tiap biasnya
terlihat di permukan airnya.
Aku berada di belakang
rumah, duduk di atas tembok batu karang sampai bisa melihat senja yang bulat
utuh berwarna jingga, tanpa mendung sedikitpun. Lalu awan membawa mendung. Alam
berbolak-balik, bergantian memberi suguhan alam kepadaku. Kenapa? Seolah
memberikan salam perpisahan kepadaku. Hingga sore ini ia memamerkan
keindahannya berganti-ganti dan secara totalitas. Menunjukkan penampilan
terbaiknya.
Jingga sudah begitu pekat.
Saking pekatnya hampir merah dan awan yang berserak di atasnya jadi keemasan.
Bagian atasnya seperti permukaan santan yang sangat kental. Eeng dan tiga anak
lelaki di atas sampan uwwak yang ada di bawahku sedang menirukan iklan Djarum Coklat.
Mengapa awan di belakangku
berwarna merah jambu lembut? Akankah karena efek mentariyang akan tenggelam? Namun awan di atasku berwarna
putih keabu-abuan
Adzan maghrib datang.
Kutinggalkan langit dalam keadaan merah.
Sementara Jun menggoreng
ikan pare, aku mengulek sambel asem di atas cobek. Ibu memasak ikan rebus. Kami
berbuka dengan penuh khidmat.
Malam hari, kami bertiga
mengobrol soal kepulangan. Jun terlihat lebih pasrah, memberikan keputusannya
kepadaku. Sementara aku dan Daman setia berdebat panjang. Intinya Daman tidak
ingin pulang bersamaku, saat aku tanya dia tidak sedia memberikan alasan.
Kami saling mengumpat lagi,
tapi kali ini umpatan agak sopan karena menyadari beberapa tetangga juga sedang
menghabiskan malam di atas lincak depan rumah masing-masing. Keakraban kami
yang berupa umpatan itu rupanya sejak tadi didengarkan tetangga depan rumah
yang sedang mencuci piring di atas lincak. Ibu itu tertawa dan menyadarkan kami
yang sedang saling mengumpat, dan kami pun sontak diam disusul nyengir kepada
sang tetangga.
Sadulang Kecil, 30 Juni- Malang, 17 September
2016
0 komentar:
Posting Komentar