Rabu, 21 September 2016

Pulau Saredeng dan Hujan di Pagi Hari

Hari Keduabelas: Rabu, 29 Juni 2016

Pagi ini pun air langit masih menetes pada tanah di pulau ini. Tidak deras, hanya saja ritme turunnya air menandakan hujan akan turun cukup lama. Benar saja, sampai hampir pukul delapan hujan masih turun rintik-rintik.

Aku sempat berlari ke belakang, melongokkan kepala dari pintu. Aku lihat air laut pasang. Permukaan airnya berwarna abu-abi seperti warna mendung di atas langit sana.Kapal uwwak yang berwarna putih terbawa air pasang sampai ke tengah. Entah bagaimana ceritanya kapal itu sudah ditambatkan lagi di belakang rumah.

Paklek dan sepupu Jun dari jalur ayah beserta istrinya datang dihantar hujan yang telah menjadi gerimis. Mereka bercakap-cakap seru, menyebut-nyebut kapal uwwak beberapa kali. Juga tantangan beberapa nelayan untuk adu cepat kapal. Mereka semua percaya, tidak akan ada kapal secepat kapal uwwak. Kapal uwwak mesinnya bagus. Ibu pernah cerita, kapal yang baru dibeli itu seharga seratus juta. hihu

Sampai aku mendengar sebuah rencana yang dianggap berani oleh ibu, sebuah rencana menjajal kapal uwwak yang baru beberapa hari lalu usai direparasi mesinnya. Berlayar menuju pulau Saredeng, melewati lautan luas berombak besar dengan cuaca buruk seperti ini!

Sungguh Jun memang berasal dari keluarga gila. Gila di sini, adalah sekumpulan manusia yang berfikir dan menjalani hidup unlinier. Iya dong, bagaimana bisa hidup bilamana menjalani hidup dengan linier di tengah rimba lautan dengan segala macam konsekuensi mengerikannya?

Disapa Badai

Jujur saja, bagian ini akhirnya aku tulis paling akhir. Beberapa kali aku urung menulis bagian cerita ini. Belum-belum aku sudah merasa tidak sanggup menggambarkannya. Bukan karena lebay merasa ngeri, bukan! Aku hanya merasa apa yang nantinya akan aku ceritakan sungguh jauh dari kenyataannya. Karena pengalaman sedahsyat ini hanya bisa ditangkap utuh saat merasakannya sendiri, Kawan! Ya, aku telah berlayar di tengah badai untuk pertama kalinya.
Perasaanku ini sangat jauh dari debar dan ketegangan saat menonton film-film berlatar lautan badai lengkap dengan segala cerita heroiknya. Sungguh berbeda! Jelas!

Akhirnya, persekongkolan Jun bersama Ji (paklek) dan sepupunya membuahkan hasil. Kapal dilayarkan meski gerimis masih sanggup membasahi tubuh kami. Meski mendung masih setia menggantung di langit dengan rata.

Aku, Daman, Eeng, Eva, Atun, istri sepupu Jun, Ji, sepupu Jun, dan seorang anak kecil laki-laki ikut serta. Tujuan kami adalah ke Pulau Saredeng Kecil, pulau dimana pasangan sepupu Jun tinggal, juga Mak Uwa, nenek Jun dari jalur ayah.

Kapal kami berlayar saat langit berwarna buram, dan air hujan menetes agak besar. Kami melompat ke dalam kapal bergantian. Lantai kapal yang berwarna putih licin karena air hujan. Kapal kami meninggalkan bibir laut Sadulang Kecil dengan tegas.

Aku menoleh ke belakang, banyak mata penduduk menyaksikan kapal baru ini berlayar pertama kali di di tengah cuaca yang tidak bisa dikatakan baik. Penduduk penuh melongok dari ujung utara sampai ujung  selatan. Aku tidak bisa menerka-nerka apa yang ada dalam pikiran mereka. Hanya satu harapanku, yaitu mereka bisa kembali menyaksikan kapal ini menambat lagi dengan selamat di bibir pulau ini, lengkap dengan seluruh penumpangnya, tanpa kurang suatu apa.

Masuk lautan pulau Saular, ombak telah terasa. Kapal yang sesungguhnya bisa berjalan cepat ini bergoyang-goyang di atas gelombang. Hujan masih setia, meski tak deras. Daman pindah ke bagian paling belakang kapal. Dia duduk menghadap belakang di belakangku dan Eeng yang sebenarnya sudah duduk di bagian belakang. Kakinya menggantung dan bila ombak besar datang, kakinya bisa basah.

Hujan semakin deras, datang bersamaan angin kencang. Seisi kapal berteriak, ada yang karena senang merasakan sensasinya dan ada pula yang berteriak takut. Kakak ipar perempuan Jun mengatakan padaku bahwa dia mabuk. Dia heran mengapa aku yang orang baru tidak mabuk. Aku menggeleng sambil tersenyum. Ombak semakin ganas. Angin semakin keras. Kapal pun semakin entah bergoyang ke kanan-ke kiri cukup tinggi. Lalu turun di bawa air dengan cepat.

Aku melihat air laut berwarna abu-abu menyeramkan. Aku dan eeng agak berteriak pada Daman supaya berpegangan pada besi kuat-kuat. Aku ngeri melihatnya, tapi dia tidak menggubris. Daman hanya terdiam kaku melihat pemandangan yang mungkin pertama kali untuknya, juga tentu saja bagiku.

Aku lupa bagaimana badai itu datang menghantam kapal kami yang seperti kelelahan diamuk ombak. Angin tak jelas ke mana akan membawa kapal kami. Aku berteriak lagi pada Daman, dan untuk kali ini aku menangkap kengerian dari tubuhnya. Tergeragap tangannya mencari pegangan besi di belakangku dan Eeng. Aku membaca solawat di dalam hati. Semua berteriak sambil berpegangan keras-keras pada apapun di sekitarnya.

Kapal kami seperti akan tenggelam dengan kemiringan yang sudah tidak stabil. Kapal miring ke kiri menyentuh perairan yang penuh gelombang. Air juga telah masuk ke perut kapal. Para lelaki, yang berada di ujung depan saling berteriak dengan sepupu jun yang mengemudi di dalam, di depan kami. Mereka saling berteriak melempar instruksi dan melakukan hal dengan cepat, sigap, dan tangkas sampai keseimbangan kapal kembali bisa dibilang tidak membahayakan meski belum bisa dibilang aman.

Kapal masih bergoyang-goyang keras di tengah ombak ganas di bawah langit yang gelap. Mataku menyapu langit dan lautan bagian depan. Semuanya berwarna abu-abu gelap, diselimuti angin yang mengerikan. Aku menoleh ke belakang. Begitupula kudapati. Lautan, langit, dan alam disekeliling yang menyelimuti kapal kami hanya satu warna, abu-abu gelap. Dengan angin yang berbunyi ganjil. Seperti suara iblis yang berteriak-teriak meminta tumbal.

Entah berapa lama aku terdiam menikmati suasana ini ketimbang berteriak-teriak seperti yang lain. Aku berusaha sebisa mungkin tidak mengambil jarak dengan alam. Setelah badai mereda dan goyangan kapal tidak seekstrim tadi, suasana kapal pun menjadi tenang. Aku menikmati goyangan demi goyangan kapal yang dibawa ritme gelombang besar. Menoleh ke belakang, aku melihat kabut putih di satu titik, di antara alam yang berwarna abu-abu gelap. Instingku mengatakan, itulah hujan. Mendung di dalam awan yang tersapu angin.

Sampai mendekati lautan Saredeng, langit telah cerah, tapi laut dan langit di belakang sana, tetap berwarna abu-abu gelap. Semua keluar dengan ceria, seperti tidak pernah terjadi apa-apa di laut sana. Aku dan Daman masih sama-sama terdiam. Memaknai dan menyimpan kenangan maha dahsyat di belahan laut sana.

Wajah Jun memergokiku, seperti biasanya setiap ada hal dahsyat yang ingin dipamerkannya tercapai. Aku akui, itu tadi memang keren!

Mak Uwa

Kami melompat dari kapal ke geladag kayu bergantian. Pulau Saredeng terkesan ceria, apalagi dengan keadaan langit yang baru usai dibersihkan dari mendung oleh hujan. Pulau Saredeng Kecil ini tidak lebar. Sepertinya empat kali lipat lebih lebar pulau Sadulang Kecil.

Rumah-rumah hanya terdiri dari dua baris di bagian barat dan timur. Membujur sepanjang selatan dan utara pulau dengan jalan utama di tengah-tengah, menjadi jarak anatara satu rumah dengan rumah lainnya yang berhadap-hadapan. Saat aku berjalan, dan menoleh ke kanan-kiri, birunya laut sudah terlihat jelas berada di belakang rumah. Aku sempat berfikir, bagiamana kalau badai datang apa rumah tidak akan tersapu air?

Rumah nenek Jun berada di hampir ujung utara pulau ini. Rumah jadul dari gedeg ini malah terkesan antik di mataku. Aku bersama Eeng cepat-cepat ke belakang karena telah lama menahan pipis. Kamar mandinya pun hanya gedeg berbentu kubus ukuran sepinggang orang dewasa. Begitu saja aku membuang air seni itu di tanah. Tidak tahan dengan panorama pantai yang lepas dengan pasir putihnya yang lembut, aku berlari ke pantai. Menjejakkan kakiku di pasirnya. Angin pantai berkesiur segar.

Eeng dan beberapa yan lain berenang. Aku malas berganti baju, dan lebih memilih ikut kakak ipar sepupu Jun ke rumahnya. Rumah sepupu Jun berada di bagian selatan pulau dan mengahadap ke timur. Selalama berjalan ke selatan, aku perhatikan, rata-rata di sebelah kiriku adalah rumah joglo dan bagian kananku adalah rumah gedung. Orang-orang yang beraktifitas di depan rumah masing-masing sangat memperhatikanku sebagai orang baru. Seorang ibu-ibu menanyai kakak ipar Jun bahtwa aku anak salah seorang di Sadulang Kecil. Aku tertawa kecil,rupanya wajahku sudah menyublim sebagaimana wajah orang pulau.

Kembali ke rumah Mak Uwa, aku menyadari cucunya sangat banyak. Saat semua telah bersiap menuju ke geladak kayu dimana kapal kami menambat, dan para perawan menuju selatan pulau, aku menunggui Mak Uwa bersiap-siap. Mak Uwa akan ikut serta bersama kami ke Sadulang Kecil. Mak Uwa akan melewati hari raya di sana bersama anak-cucu. Di rumah gedeg ini beliau tinggal seorang diri. Kata Jun, Mak Uwa tidak mau diajak tinggal bersama anak-anaknya. Dia lebih memlih hidup mandiri.

Berdua bersama Mak Uwa, kami membelah perkampungan pulau ini. Mak Uwa mengenakan sampir dan baju kebaya berwarna coklat. Dalam usianya yang sangat tua ini gurat-gurat cantik masih kentara di wajahnya. Meski tubuhnya sudah agak bungkuk, tapi dia berajalan begit tegas. Niatku yang ingin menemani seorang nenek sebagai yang muda, seperti terbalik arah. 

Mak Uwalah yang seakan-akan mengawalku dan melindungiku. Apalagi detik-detik saat aku akan naik ke kapal, Mak Uwa tampak berjaga-jaga di belakangku. Bahkan berteriak pada jun dengan bahasa yang tak kumengerti. Jun langsung tertawa terpingkal-pingkal. Aku penasaran. “Kata Mak Uwa, kamu suruh digendong saja takut jatuh,” Jun menjelaskan di sela tawanya, aku kontan jadi terpingkal-pingkal bersama Jun. Mak Uwa yang melihat kami, tersenyum saja di antara wajahnya yang telah penuh dengan keriput.

Kami berlayar menuju Sapeken di bawah langit yang cerah. Saking cepatnya, aku tak terasa kalau kapal kami sudah masuk pulau Sapeken. Kami turun dengan melompat dari kapal. Bergerombolan kami berjalan di tengah-tengah pasar ini. Sementara Jun dan Eeng mengingat-ngingat pesanan ibu, aku bertanya harga-harga sayur di sini:Terong 10.000, buncis 12.000, wortel 20.000, kubis 10.000.

Di perempatan pasar yang becek ini, Hansip  rame sekali dengan pentungan dan pluitnya. Menurutku, dia tidak melakukan apa-apa misalnya menertibkan jalan, tapi lebih pada mencari perhatian masyarakat dan menunjukkan eksistensi dan posisinya. Ih!  

Mak Uwa memberiku uang 10.000. Daripada mengikuti para gerombolan anak-anak muda Sadulang itu, aku membuntuti Mak Uwa untuk melihat sisi lain pasar ini. Benar saja, di luar dugaanku, Mak uwa pandai bahasa bajo dan bahasa lainnya saat tawar-menawar dengan beberapa penjual. Mak Uwa adalah orang tua sara pengalaman dan lincah.

Aku yang muda lupa jalanan pasar yang masuk-masuk gang perkampungan ini. Mengikuti Mak Uwa, kami akhirnya sampai lagi di geladag kayu tempat kapal kami menambat. Di ujung geladag aku melihat dua anak kecil sedang mansing. Mereka memasukkan ikan-ikan kecil pada pengait sebagai umpan mendapatkan ikan yang lebih besar. Mereka menggunakan bahasa bajo, tapi bahasa Indonesianya juga lancar. Mereka menjawab pertanyaan-pertanyaanku dngan lugas. Aku ngikik, saat seorang bocah yang kutaksir  berumur sekitar 4 tahun menjawab 10 tahun.

Kualihkan pandanganku menyapu Dermaga Sapeken yang ramai dengan kapal-kapal kecil juga perahu dengan berbagai ukuran. Bergabung dengan Mak Uwa dan seorang ibu-ibu, aku duduk di bangku kayu di atas geladak dengan tutup daun laras. Daman terlihat bercakap-cakap dengan HPnya. Kulempar lagi pandanganku ke jajaran perahu-perahu. Kulihat perahu-perahu taksi atapnya ditutup dengan terpal.

Semuanya sudah datang dan melompat masuk ke dadalam kapal. Karena kapal uwwak yang beberapa kali lebih tinggi dari sampan mamak aku bisa melihat pulau-pulau sebelum Sadulang Kecildengan jelas. Juga pulau-pulau tetangga, pulau-pulau di kiri-kanan.

Sekitar berapa meter dari Sadulang Kecil aku melihat gumpalan awan masih menggantung sepanjang langit-langitnya. Jam 13: 50 kapal kami telah berhasil lagi masuk ke batas laut Sadulang Kecil. Ternyata Sadulang Kecil sudah di sapu mentari.

Kapal kami merambat di atas rumput laut yang panjang-panjang. Kapal berjalan merambat karena sir surut sebelum dekat dengan tembok karang. Ikan melompat-lompat seperti terbang di atas air dimana rumput lautnya tumbuh tinggi.

Asis nama bocah cilik itu. Dia melopat dari kapal untuk mengambil perahu biduk. Kembali lagi ke dekat kapal yang tidak dapat merapat benar di bibir pulau karena air surut sementara kapal terlalu besar. Asis kembali dua kali mengangkut kami dari kapal menuju bibir pulau sampai tembok karang. Perahu itu berwarna putih yang ditarik olehnya dengan berjalan di atas pasir di dasar air, terkadang, mungkin karena lelah atau berat, Asis menariknya sambil berenan[].


Malang, 17 September 2016

0 komentar:

Posting Komentar