Rabu, 21 September 2016

Meninggalkan Sadulang Kecil…



Hari Kelima Belas: Sabtu, 02 Juli 2016

Bergetar jiwaku hari ini. Merayakan hari raya di pulau ini gagal. Sepertinya doa bapak-ibukku sangat didengarkan Tuhan. Aku mengepak baju-baju ke dalam koper dengan perasaan tak menentu. Aku lihat wajah Eeng sekelebat. Gadis gemuk yang manis ini sudah seperti adik sendiri rasanya. Eeng termangu melihatku menata baju-baju.Tapi aku harus cerewet seperti biasa, tak baik kesedihan ditampakkan, begitu dawuh Gus Mus.

Daman sudah siap dengan tas ranselnya. Ibunya Eva dan Datuk di ruang tengah, mengaku terkejut dengan kepulangan kami yang katanya begitu cepat dan semendadak ini. Aku jawab dengan berseloroh saja, bahwa aku tak mau lama-lama karena takut dikawinkan di sini. Sontak semua tertawa.

Aku seret koperku dari dalam kamar. Ibu Eva memberi uang padaku dan Daman, Datuk memberi kami jajan untuk cemilan di kapal katanya. Duh, aku tambah sedih, merasa bukan di kampung orang. Tapi sekali lagi, aku tak boleh menangis. Tidak boleh!

Ibu repot mencari ikan untuk kami bawa, tapi aku menolak dengan alasan berat, repot yang mau bawa. Meski sesungguhnya aku ingin sekali membawa, karena lidahku sudah ketagihan pada ikan. Akhirnya Daman membawa satu kardus ikan kering.

Aku berbicara suatu hal pada Jun, dan ini rahasia, kamu tak boleh tahu. Aku keluar, memanggil Lingling yang sedang bermain lumpur dengan Amrullah, beberapa tetangga sampai membantu meneriaki, tapi kedua bocah pelipur lara saat aku kangen rumah itu terlalu asyik dengan lumpur dan air sepinggang mereka. Aku gagal mencium pipi kanan dan pipi kiri Lingling sebagai cium perpisahan.

Uwwak, menasehati kami selayaknya seorang ayah. Dan pesannya, jangan kapok bermain ke sini. Uwwak mengaku sedih dengan kepulangan yang semendadak ini, karena tidak bisa membawakan ikan banyak hasilnya melaut. Oh uwwak! Betapa aku ingin makan ikan yang langsung dari tangkapan tanganmu sendiri.

Kami masih diminta makan agar tidak lapar nanti di kapal. Di atas lincak mamak meneriaki kami mengapa pulang cepat-cepat. Tentu saja mamak begitu terkesan pada Daman yang membantu membuat bubu, juga pengalaman kami membantunya abubu kala itu, kenangan yang sangat berkesan denganmu, Mak!

Ibu juga memberi aku dan Daman sangu. Sambil menasehati suatu hal. Kami melangkah meninggalkan rumah dengan perasaan berat. Daman apalagi, wajahnya begitu murung semenjak tadi. Kami menyusuri jalan perkampungan yang becek dan penuh air disertai pandangan selamat tinggal dari penduduk kampung. Ada yang berlari ke arahku, dan memberikan uang dengan menggegam tanganku sangat erat, sambil tersenyum dan mengangguk tak henti-henti. Mungkin beliau menyangka aku tak mengerti bahasa Madura. Aku balik menggenggam tangannya kuat-kuat sambil mengatakn terimakasih dan menggangguk berkali-kali seperti dirinya.

Para penduduk kampung berkumpul di pelataran rumah dimana perahu taksi yang akan kami tumpangi menambat. Aku menyalami semua orang yang ada di sana sambil tersenyum tak henti-henti. Aku peluk Eeng erat-erat, mendoakan sepupu Jun yang beberapa hari lagi akan menikah.

Terakhir aku salim pada ibu dan Mamak lalu mengikuti Jun dan Daman melompat ke perahu taksi yang sudah berisi beberapa orang yang juga akan meninggalkan Sadulang Kecil, tempat mereka mudik dari rumahnya di Bali.

Pagi menjelang siang itu, kami dilepas penduduk kampung juga hutan bakau yang berada di sepanjang bibir pulau Sadulang Kecil bagian selatan…





Kembali Berlayar

Sebelum perahu menambat, aku melihat kapal Sabuk Nusantara yang kemarin kutumpangi menambat di pinggir geladag beton. Setelah kami menjejakkan kaki lagi di dermaga Sapeken ini, aku melihat ternyata ada dua kapal pagi ini. Kapal perintis warna hijau itulah yang merupakan kapal gratis dari Bupati Banyuwangi. Kapal yang akan aku dan Daman tumpangi menuju Banyuwangi.

Sementara Jun mengurusi tiket gratis kami di loker, aku membeli gorengan, air mineral, juga jeruk untuk bekal di kapal nanti. Karena harga makanan di kapal pasti berkalilipat lebih mahal.

Semuanya beres, kami berjalan ke geladag alias jembatan beton yang panjang dan luas. Mataku masih memayar kemana-mana untuk menyimpan momen dermaga ini yang terakhir kalinya. Saat mataku menoleh ke bawah, kukira air laut berwarna hitam, ternyata itu adalah warna ikan yang menggerombol banyak sekali. Banyak sekali tanpa jeda.



Itu mbak yang kemarin punya kucing angora, kata Jun saat kami sudah berada di atas kapal. Kapal ini hanya terdiri dari satu lantai untuk penumpang dan didominasi warna hijau. Ada dua tempat luas yang atapnya ditutup terpal. Satu penuh, dan di sana Jun menyimpan koporku. Daman seperti keberatan, dia mengatakan satu tempat lagi kosong, tidak ada orang sama sekali. Tapi semua tas sudah terlanjur ditata.

Kami megobrol di pagar kapal sambil menikmati gorengan. Jun mengatakan akan menikah saja. Aku dan Daman mendukung. Sampai peluit dibunyikan, Jun tersentak dan cepat-cepat berpamitan kepada kami lalu turun dari kapal.

Daman mengangkat kopernya, memindahkannya ke tempat belakang. Lalu setelah ibu menelfon dan aku melapor, Daman juga memindahkan tasku jadi satu dengan tasnya. Dalam hatiku aku tertawa menang.

Sampai sore Daman tidur. Bangun-bangun minta tolong dibelikan pop mie. Ternyata dia mabuk, karena kasihan aku menuruti permintaannya. Sementara Daman makan, aku turun ke bawah menatap lautan melewati pagar, sambil merenung-renungkan perjalanan gilaku ini.

Saat aku ke kamar mandi yang berada di paling belakang kapal, aku menangkap suara deru mesin yang sangat keras dan memekkan telinga. Suaranya berat juga seram seperti suara monster. Dan getaran mesinnya merambat sampai jantungku yang sedang membersihkan muka di dalam kamar mandi.

Sore datang dengan sederhana. Senja membias saat langkahku terhenti di dek kapal bagian barat dan naik ke sekoci di samping pagar. Di sana aku berlama-lama menikmati suguhan lautan di saat senja di atas kapal berwarna hijau dan putih. Aku tercenung mengeja hidup.

Begitulah. Senja selanjutnya dihantarkan menuju malam oleh suara tim nakhkoda yang menyanyi keras-keras lengkap dengan gendang, gitar, dan sepertinya juga ada suara jimbe. Kapal besar yang hanya ditumpangi sekitar dua puluh limaan orang ini jadi terasa sangat asyik. Seperti sedang nongkrong bersama teman-teman di salah-satu warung kopi Jogja.

Saat malam telah turun dan aku memilih duduk di atas, Daman datang dari bawah, mukanya kecut. “Gila! ngeri sekali. Aku melihat ikan paus sebesar kapal ini berenang mengiringi kapal!” Aku melonjak kaget, ingin segera turun tapi urung. Mula-mula Daman merasa ganjil melihat laut berwarna hitam tanpa ombak dan tanpa buih di bawah dan sepanjang bibir kapal seperti biasanya. Setelah memperhatikan betul, Daman seakan melonjak melihat ikan paus besar sekali. Seram, mengerikan, katanya.

Sekitar jam sepuluh ada sms masuk. Dari situ aku tahu bahwa kami sudah dekat dengan pulau. Aku turun lagi, dan betul saja lampu-lampu di sepanjang pulau Banyuwangi sudah tampak seperti kunang-kunang yang beterbangan.

Entah jam berapa, kapal menambat di Dermaga Banyuwangi. Aku kadung terpaut menikmati pesona gemerlap lampu-lampu di Dermaga Banyuwangi. O… begini rupanya perasaan melihatnya, bagi jiwa yang lama tak disentuh hiruk-pikuk dunia luar.

Menggelandang di Tanjungwangi
Di temani malam, aku dan Daman berjalan dari Dermaga sampai area stasiun Banyuwangi Baru. Jalanan besar tidak ramai, tapi juga tidak sepi. Beberapa calon penumpang kapal tampak berjalan-jalan. Kami memilih berjalan, karena aku tahu, sebagaimana Jun, Daman juga menyimpan dendam serapah kepada supir angkot gara-gara malam keberangkatan. Aku terkekeh-kekeh.

Di depan Indomart kami istirahat sambil ngecash, beli pulsa, beli ini-itu. Daman yang akses signalnya merdeka cekikikan sendiri di depan HPnya. Aku mengobrol dengan gerombolan ABG lelaki seumuran adik pertamaku, mereka sekolah SMK di Malang dan sedang magang di Bali. Obrolan semakin lanyah saat kami saling tahu ternyata kami tetangga. Rumah kami sama-sama dekat area stasiun Kotalama.

Apalagi saat mereka merasa mendapatkan informasi seputar jadwal kereta api dariku yang lumayan sering PP Banyuwangi Malang atau sebaliknya, kami merasa tambah akrab. Mereka memanggilku mbak, dan Le aku sematkan saat memanggil mereka. Kami menggunakan bahasa Jawa Timuran dan beranjak menuju stasiun bersama-sama. Apalagi kami satu kereta.

Daman pun tidak jadi naik bus, dia ternyata lebih baik dari yang aku kira. Dia mengantarku sampai stasiun, dan aku menawarkannya untuk sekalian saja naik kereta bersamaku dan adik-adik baru ini.

Di depan stasiun yang masih tutup, kami mengobrol lagi sambil duduk sembarangan. “Sampean penyanyi tah, Mbak ndek Jogja?” tiba-tiba salah seorang dari tole bertanya begitu. Aku dan Daman ngakak-ngakak. Tentu saja Daman menjawab pakai lebay.

Semenjak keberangkatan dan selama di Pulau, sesungguhnya aku dan Daman tidak bisa akur alias sering bertengkar. Cerita kepulangan pun sebenarnya ditaburi pertengkaran-pertengkaran aneh, tapi semenjak di stasiun ini, pertengkaran kami agak mereda. Sampai di dalam kereta, kami masih setia saling mengejek dan mengumpat. Tak tanggung-tanggung kosa kata Asu, Bodoh, Goblok dan kosa kata bermakna dalam lainnya kerap memenuhi bercandaan kami.

Sampai aku capek digoblok-gobloki dan menggoblog-gobloki, aku tidur pulas. Daman turun terlebih dulu. Kami berpisah dengan saling menggenggam tangan sendiri dan saling memukulkan. Saat itulah aku tahu, bahwa aku dan Daman bersahabat. Pertengkaran dan percekcokan dahsyat kami selama ini menunjukkan cara kami mengekspresikan kedekatan seorang teman.

Beberapa penumpang tidak bisa tak memperhatikan kami saat kami saling teriak sebelum Daman berlalu dan turun dari Kereta. Di Stasiun Kotalama, adik keduaku, Rois dan bapak sudah menunggu. Sesaat wajah Jun, uwwak, ibu, Eeng, Eva, Datuk, Lingling berkelebat sebelum aku tersenyum pada Rois dan bapak.[]

Malang, 17 Sepetember 2016


   

2 komentar:

  1. bleh tw u siapa..
    dan apakah u perna k sadulang kecil

    BalasHapus
  2. Mohon maaf baru balas. Saya Halimah, teman saya Junaidi anak Sadulang Kecil. Saya pernah ke sana...

    BalasHapus