Bergetar jiwaku hari ini.
Merayakan hari raya di pulau ini gagal. Sepertinya doa bapak-ibukku sangat
didengarkan Tuhan. Aku mengepak baju-baju ke dalam koper dengan perasaan tak
menentu. Aku lihat wajah Eeng sekelebat. Gadis gemuk yang manis ini sudah
seperti adik sendiri rasanya. Eeng termangu melihatku menata baju-baju.Tapi aku harus cerewet
seperti biasa, tak baik kesedihan ditampakkan, begitu dawuh Gus Mus.
Daman
sudah siap dengan tas ranselnya. Ibunya Eva dan Datuk di ruang tengah, mengaku
terkejut dengan kepulangan kami yang katanya begitu cepat dan semendadak ini.
Aku jawab dengan berseloroh saja, bahwa aku tak mau lama-lama karena takut
dikawinkan di sini. Sontak semua tertawa.
Aku seret koperku dari dalam
kamar. Ibu Eva memberi uang padaku dan Daman, Datuk memberi kami jajan untuk
cemilan di kapal katanya. Duh, aku tambah sedih, merasa bukan di kampung orang.
Tapi sekali lagi, aku tak boleh menangis. Tidak boleh!
Ibu repot mencari ikan untuk
kami bawa, tapi aku menolak dengan alasan berat, repot yang mau bawa. Meski
sesungguhnya aku ingin sekali membawa, karena lidahku sudah ketagihan pada
ikan. Akhirnya Daman membawa satu kardus ikan kering.
Aku berbicara suatu hal pada
Jun, dan ini rahasia, kamu tak boleh tahu. Aku keluar, memanggil Lingling yang
sedang bermain lumpur dengan Amrullah, beberapa tetangga sampai membantu
meneriaki, tapi kedua bocah pelipur lara saat aku kangen rumah itu terlalu
asyik dengan lumpur dan air sepinggang mereka. Aku gagal mencium pipi kanan dan
pipi kiri Lingling sebagai cium perpisahan.
Uwwak, menasehati kami
selayaknya seorang ayah. Dan pesannya, jangan kapok bermain ke sini. Uwwak
mengaku sedih dengan kepulangan yang semendadak ini, karena tidak bisa
membawakan ikan banyak hasilnya melaut. Oh uwwak! Betapa aku ingin makan ikan yang
langsung dari tangkapan tanganmu sendiri.
Kami masih diminta makan
agar tidak lapar nanti di kapal. Di atas lincak mamak meneriaki kami mengapa
pulang cepat-cepat. Tentu saja mamak begitu terkesan pada Daman yang membantu
membuat bubu, juga pengalaman kami membantunya abubu kala itu, kenangan
yang sangat berkesan denganmu, Mak!
Ibu juga memberi aku dan
Daman sangu. Sambil menasehati suatu hal. Kami melangkah meninggalkan rumah
dengan perasaan berat. Daman apalagi, wajahnya begitu murung semenjak tadi. Kami
menyusuri jalan perkampungan yang becek dan penuh air disertai pandangan
selamat tinggal dari penduduk kampung. Ada yang berlari ke arahku, dan
memberikan uang dengan menggegam tanganku sangat erat, sambil tersenyum dan
mengangguk tak henti-henti. Mungkin beliau menyangka aku tak mengerti bahasa
Madura. Aku balik menggenggam tangannya kuat-kuat sambil mengatakn terimakasih
dan menggangguk berkali-kali seperti dirinya.
Para penduduk kampung
berkumpul di pelataran rumah dimana perahu taksi yang akan kami tumpangi
menambat. Aku menyalami semua orang yang ada di sana sambil tersenyum tak
henti-henti. Aku peluk Eeng erat-erat, mendoakan sepupu Jun yang beberapa hari
lagi akan menikah.
Terakhir aku salim pada ibu
dan Mamak lalu mengikuti Jun dan Daman melompat ke perahu taksi yang sudah
berisi beberapa orang yang juga akan meninggalkan Sadulang Kecil, tempat mereka
mudik dari rumahnya di Bali.
Pagi menjelang siang itu,
kami dilepas penduduk kampung juga hutan bakau yang berada di sepanjang bibir
pulau Sadulang Kecil bagian selatan…
Kembali Berlayar
Sebelum perahu menambat, aku
melihat kapal Sabuk Nusantara yang kemarin kutumpangi menambat di pinggir
geladag beton. Setelah kami menjejakkan kaki lagi di dermaga Sapeken ini, aku
melihat ternyata ada dua kapal pagi ini. Kapal perintis warna hijau itulah yang
merupakan kapal gratis dari Bupati Banyuwangi. Kapal yang akan aku dan Daman
tumpangi menuju Banyuwangi.
Sementara Jun mengurusi
tiket gratis kami di loker, aku membeli gorengan, air mineral, juga jeruk untuk
bekal di kapal nanti. Karena harga makanan di kapal pasti berkalilipat lebih
mahal.
Semuanya beres, kami
berjalan ke geladag alias jembatan beton yang panjang dan luas. Mataku masih
memayar kemana-mana untuk menyimpan momen dermaga ini yang terakhir kalinya.
Saat mataku menoleh ke bawah, kukira air laut berwarna hitam, ternyata itu
adalah warna ikan yang menggerombol banyak sekali. Banyak sekali tanpa jeda.
Itu mbak yang kemarin punya
kucing angora, kata Jun saat kami sudah berada di atas kapal. Kapal ini hanya
terdiri dari satu lantai untuk penumpang dan didominasi warna hijau. Ada dua
tempat luas yang atapnya ditutup terpal. Satu penuh, dan di sana Jun menyimpan
koporku. Daman seperti keberatan, dia mengatakan satu tempat lagi kosong, tidak
ada orang sama sekali. Tapi semua tas sudah terlanjur ditata.
Kami megobrol di pagar kapal
sambil menikmati gorengan. Jun mengatakan akan menikah saja. Aku dan Daman
mendukung. Sampai peluit dibunyikan, Jun tersentak dan cepat-cepat berpamitan
kepada kami lalu turun dari kapal.
Daman mengangkat kopernya,
memindahkannya ke tempat belakang. Lalu setelah ibu menelfon dan aku melapor,
Daman juga memindahkan tasku jadi satu dengan tasnya. Dalam hatiku aku tertawa
menang.
Sampai sore Daman tidur.
Bangun-bangun minta tolong dibelikan pop mie. Ternyata dia mabuk, karena
kasihan aku menuruti permintaannya. Sementara Daman makan, aku turun ke bawah
menatap lautan melewati pagar, sambil merenung-renungkan perjalanan gilaku ini.
Saat aku ke kamar mandi yang
berada di paling belakang kapal, aku menangkap suara deru mesin yang sangat
keras dan memekkan telinga. Suaranya berat juga seram seperti suara monster.
Dan getaran mesinnya merambat sampai jantungku yang sedang membersihkan muka di
dalam kamar mandi.
Sore datang dengan sederhana.
Senja membias saat langkahku terhenti di dek kapal bagian barat dan naik ke
sekoci di samping pagar. Di sana aku berlama-lama menikmati suguhan lautan di
saat senja di atas kapal berwarna hijau dan putih. Aku tercenung mengeja hidup.
Begitulah. Senja selanjutnya
dihantarkan menuju malam oleh suara tim nakhkoda yang menyanyi keras-keras
lengkap dengan gendang, gitar, dan sepertinya juga ada suara jimbe. Kapal besar
yang hanya ditumpangi sekitar dua puluh limaan orang ini jadi terasa sangat
asyik. Seperti sedang nongkrong bersama teman-teman di salah-satu warung kopi
Jogja.
Saat malam telah turun dan
aku memilih duduk di atas, Daman datang dari bawah, mukanya kecut. “Gila! ngeri
sekali. Aku melihat ikan paus sebesar kapal ini berenang mengiringi kapal!” Aku
melonjak kaget, ingin segera turun tapi urung. Mula-mula Daman merasa ganjil
melihat laut berwarna hitam tanpa ombak dan tanpa buih di bawah dan sepanjang
bibir kapal seperti biasanya. Setelah memperhatikan betul, Daman seakan
melonjak melihat ikan paus besar sekali. Seram, mengerikan, katanya.
Sekitar jam sepuluh ada sms
masuk. Dari situ aku tahu bahwa kami sudah dekat dengan pulau. Aku turun lagi,
dan betul saja lampu-lampu di sepanjang pulau Banyuwangi sudah tampak seperti
kunang-kunang yang beterbangan.
Entah jam berapa, kapal
menambat di Dermaga Banyuwangi. Aku kadung terpaut menikmati pesona gemerlap
lampu-lampu di Dermaga Banyuwangi. O… begini rupanya perasaan melihatnya, bagi
jiwa yang lama tak disentuh hiruk-pikuk dunia luar.
Menggelandang di
Tanjungwangi
Di temani malam, aku dan
Daman berjalan dari Dermaga sampai area stasiun Banyuwangi Baru. Jalanan besar
tidak ramai, tapi juga tidak sepi. Beberapa calon penumpang kapal tampak
berjalan-jalan. Kami memilih berjalan, karena aku tahu, sebagaimana Jun, Daman
juga menyimpan dendam serapah kepada supir angkot gara-gara malam
keberangkatan. Aku terkekeh-kekeh.
Di depan Indomart kami
istirahat sambil ngecash, beli pulsa, beli ini-itu. Daman yang akses signalnya
merdeka cekikikan sendiri di depan HPnya. Aku mengobrol dengan gerombolan ABG
lelaki seumuran adik pertamaku, mereka sekolah SMK di Malang dan sedang magang
di Bali. Obrolan semakin lanyah saat kami saling tahu ternyata kami tetangga.
Rumah kami sama-sama dekat area stasiun Kotalama.
Apalagi saat mereka merasa
mendapatkan informasi seputar jadwal kereta api dariku yang lumayan sering PP
Banyuwangi Malang atau sebaliknya, kami merasa tambah akrab. Mereka memanggilku
mbak, dan Le aku sematkan saat memanggil mereka. Kami menggunakan bahasa Jawa
Timuran dan beranjak menuju stasiun bersama-sama. Apalagi kami satu kereta.
Daman pun tidak jadi naik
bus, dia ternyata lebih baik dari yang aku kira. Dia mengantarku sampai
stasiun, dan aku menawarkannya untuk sekalian saja naik kereta bersamaku dan
adik-adik baru ini.
Di depan stasiun yang masih
tutup, kami mengobrol lagi sambil duduk sembarangan. “Sampean penyanyi tah,
Mbak ndek Jogja?” tiba-tiba salah seorang dari tole bertanya begitu. Aku dan
Daman ngakak-ngakak. Tentu saja Daman menjawab pakai lebay.
Semenjak keberangkatan dan
selama di Pulau, sesungguhnya aku dan Daman tidak bisa akur alias sering
bertengkar. Cerita kepulangan pun sebenarnya ditaburi pertengkaran-pertengkaran
aneh, tapi semenjak di stasiun ini, pertengkaran kami agak mereda. Sampai di
dalam kereta, kami masih setia saling mengejek dan mengumpat. Tak
tanggung-tanggung kosa kata Asu, Bodoh, Goblok dan kosa kata bermakna dalam
lainnya kerap memenuhi bercandaan kami.
Sampai aku capek
digoblok-gobloki dan menggoblog-gobloki, aku tidur pulas. Daman turun terlebih
dulu. Kami berpisah dengan saling menggenggam tangan sendiri dan saling
memukulkan. Saat itulah aku tahu, bahwa aku dan Daman bersahabat. Pertengkaran
dan percekcokan dahsyat kami selama ini menunjukkan cara kami mengekspresikan
kedekatan seorang teman.
Beberapa penumpang tidak
bisa tak memperhatikan kami saat kami saling teriak sebelum Daman berlalu dan
turun dari Kereta. Di Stasiun Kotalama, adik keduaku, Rois dan bapak sudah
menunggu. Sesaat wajah Jun, uwwak, ibu, Eeng, Eva, Datuk, Lingling berkelebat
sebelum aku tersenyum pada Rois dan bapak.[]
Malang, 17 Sepetember 2016
bleh tw u siapa..
BalasHapusdan apakah u perna k sadulang kecil
Mohon maaf baru balas. Saya Halimah, teman saya Junaidi anak Sadulang Kecil. Saya pernah ke sana...
BalasHapus