Kamis, 10 November 2016

Mata Juminten


pexels.com


Di sana,/Di tempat yang katanya pencetak peradaban/Ada yang takterlihat/oleh mata/Ada yang tak terdengar oleh telinga/Ada yang tak teraba oleh indra/Ada yang tak tersentuh oleh batin Di sana,/Di Tempat Kau memanggilnya ‘Guru’/ Ya. Di sana


Pandangan Juminten menerawang, menembus langit biru yang menangkup di atas pelataran Tamansari. Sesekali beralih pada gentong-gentong putih yang menjadi kuning keemasan, diterpa bias jingganya senja. Juga meja-meja dan bangku-bangku panjang dari kayu jati berukir bunga kantil. Lirik lagu Kemesraan dalam aransemen music keroncong Hetty Koes Endang semakin menebar suasana melankolis Warung Senja itu. Sebuah warung antik di selatan pelataran Tamansari.

Juminten melihat awan-awan putih itu silih berganti menjelma wajah-wajah perempuan. Perempuan-perempuan yang selama dua minggu terakhir ini Juminten datangi. Lalu dengan kepiawaian seorang wartawati yang memiliki kecerdasan investigatif, kisah bersamaan perasaan lara bercampur luka dan kecewa itu mengalir begitu saja. Dari memori mereka. Para perempuan mantan mahasiswi FakultasSyari’ah di salah-satu kampus berlabel Islam.

“Saya harus lulus, Mbak...”

Juminten melihat kedua tangan dengan jari-jari yang panjang nan indah itu menelungkup pada wajah perempuan di depannya, menyembunyikan isak tangis. Nama perempuan ini memang masuk daftar list dalam catatan Juminten. Juminten mendaftar tiga puluh tiga perempuan secara acak dalam lima tahun terakhir ini, yang menjadi mahasiswi bimbingan Mad Ngaceng. Salah seorang lelaki hidung belang yang menggunakan kuasa kursi seorang dosen pembimbing untuk melampiaskan nafsu hewaninya.

Dalam menyusun draf-draf datanya, selain menemukan bahwa rata-rata mahasiswi bimbingan Mad Ngaceng adalah perempuan, Juminten juga menemukan para mahasiswi yang menjadi korban adalah mereka  yang  tanpa aktifitas keorganisian kampus. Baik intra apalagi ekstra. Rupanya, pelaku telah membaca kemungkinan-kemungkinan membahayakan bagi tindakan hewaninya  yang  telah berlangsung selama bertahun-tahun. Selama menjadi pembimbing skripsi. Seekor kelinci bermuka kucing!

“Dan sa… dan saya terpaksa, Mbak! Bapak dan Emak saya sakit parah. Waktu itu saya benar-benar butuh pekerjaan dan harus lulus untuk mendapatkan ijazah sarjana saya,” perempuan itu kembali menangis tertahan, terpaksa memutar ulang masa kelamnya saat menjadi mahasiwi. Di detik-detik terakhir merampungkan administrasi persyaratan siding skripsi.

Bagaimana bisa seorang iblis duduk di kursi seorang pendidik.Ya, seorang pendidik yang jangankan melakukan hal amoral nan menjijikkan seperti itu, guru kencing berdiri saja murid akan kencing berlari. Sekali lagi, Juminten geram: Bagaimana bisa seorang iblis duduk di kursi seorang pendidik.  Bagaimana bisa sampai bertahun-tahun. Bagaimana bisa sampai menjadi seorang guru besar.

Semakin kerja investigasi Juminten berada di tingkat yang dalam, semakin terbelalak nurani kemanusiaannya. Jiwanya sempat mengalami jeda. Bagaimana bisa kenyataan seorang iblis berkelamin hewan yang duduk di kursi-kursi dosen bagaikan akar  yang merambat panjang dan bercabang-cabang.
Semakin dalam Juminten tenggelam, semakin ia tahu banyak sekali iblis berkelamin hewan di sana. Menjadi rahasia umum tak terbahasa. Menjadi kerak hitam dalam pintu yang terkunci rapat. Kepura-puraan  yang  bersembunyi dalam peradaban  yang  palsu. Massif, sistematis, dan terorganisir. Dari ceruk paling bawah sampai pernah yang paling menara.

Dulu, Juminten memang gagal. Teman sekamar kostnya, Ria, mahasiswi asal Wonogiri yang ayu dan lembut, pernah terjungkal di sudut kehidupan kampus. Dari sanalah pertama kali Juminten tahu, menangis berdua bersama Ria mendapati kenyataan dosen faforit pengampu matakuliah Tasawwuf yang  nampak terlihat saleh,  bahkan nyufi dan kebapak-bapakan menolak menandatangani lembar pengesahan revisi skripsi yang harus ditandatangani pembimbing.

Ria yang mahasiswi polos di mata Juminten hanya menangis tertahan di atas sepatu dan rok panjangnya ketika mendengar pemintaan barter antara tandatangan pengesahan dan dua bibir perawan miliknya. Ria lari dengan membawa bayangan menyeringai dan suara yang memantul-mantul di kepalanya itu: “Aku tandatangani nanti malam, setelah kau tidur bersamaku.”Ria menangis, berlabuh pada Juminten. Juminten geram dan ingin muntah! Jiwa aktifisnya nyala.

Pertama,  Juminten menemui Gufron, ketua komisariat organisasi ekstra kampus. Pertama sekali Gufron terperanjat. Dia malu mengaku kecolongan dan justru berterimakasih dan berjanji akan bekerjasama dengan Juminten dalam kasus ini. Tapi sial, Gufron terdiam seribu bahasa saat Juminten menyebut satu nama. Juminten melihat, Gufron sebagai lelaki dan pemimpin yang menelan omongannya sendiri. Kelak, Juminten tahu, nama yang disebutnya adalahnama paling disegani oleh paraaktifis kampus. Nama yang memiliki kekuatan berlabirin tebal.

Juminten memilih jalan sunyi. Dilihatnya dengan jeli nama-nama dosen di kampusnya yang terlihat berjiwa jernih. Beberapa sangat terperanjat, beberapa semakin mendekatkan Juminten pada fakta yang menjadi rahasia umum di kalangan atas. Juminten terbelalak. Beberapa memintanya mundur,  karena akan menodai nama kampus dan segala dana yang mengucur akan mandeg. Juminten mental, tanpa solusi.

Juminten tidak mau kalah. Dia tetap menggeliat bersama beberapa teman kepercayaan. Kini lewat LSM-LSM  perempuan. Sampai suatu malam, kamar kostnya kosong. Ria tidak ada beserta semua barang-barangnya. Sepucuk surat dari Ria meminta Juminten melupakan segalanya. Ria mengatakan telah mendapatkan tandatangan tanpa menceritakan bagaimana kronologinya. Bulan depan, Ria sudah bisa wisuda. “Jangan resah Juminten, teman kesayanganku,  perempuan hebat, aku masih perawan. Sungguh. Tapi tolong, berhentilah! Sudahi semuanya. Demi aku,” ternganga Juminten membaca kalimat akhir Ria.

Juminten mengumpat. Merasa kecolongan. Kecerdasan intelegensinya mengatakan, salah satu dosen yang didatanginya adalah bagian dari kaki cumi-cumi yang ingin ditangkapnya. Dan dia tahu, manakala satu kaki tertangkap, semua kaki sampai kepala akan terungkap. Sekali lagi Juminten mengumpat dan tersandar di dinding kamar kost. “Oh, Ria! Mengapa kau tidak menjadi kuat!” Tapi Juminten sangat mengerti, bahwa kejahatan yang sangat teroganisir, rapi, dan sunyi ini bukanlah tandingan seorang Ria. Mungkin juga dirinya sendiri, bilamana tahu segelap apa kejahatan yang sedang dihadapinya.

Azan maghrib pecah menggantikan keroncong Hetty Koes Endang. Wajah-wajah perempuan di atas langit pudar bersamaan senja yang turun. Juminten terkejut, dering watshappnya berbunyi. Mata Juminten membeliak dan mulutnya sedikit menganga demi membaca pesan dari teman wartawannya: “Kasus kita ditutup. Argumen tidak jelas.Ini kejahatan, Juminten!”



Malang, 21102016

0 komentar:

Posting Komentar