pexels.com |
Di sana,/Di tempat yang katanya pencetak peradaban/Ada yang takterlihat/oleh mata/Ada yang tak terdengar oleh telinga/Ada yang tak teraba oleh indra/Ada yang tak tersentuh oleh batin Di sana,/Di Tempat Kau memanggilnya ‘Guru’/ Ya. Di sana
Pandangan
Juminten menerawang, menembus langit biru yang menangkup di atas pelataran Tamansari.
Sesekali beralih pada gentong-gentong putih yang menjadi kuning keemasan,
diterpa bias jingganya senja. Juga meja-meja dan bangku-bangku panjang dari kayu
jati berukir bunga kantil. Lirik lagu Kemesraan dalam aransemen music keroncong
Hetty Koes Endang semakin menebar suasana melankolis Warung Senja itu. Sebuah warung
antik di selatan pelataran Tamansari.
Juminten
melihat awan-awan putih itu silih berganti menjelma wajah-wajah perempuan. Perempuan-perempuan
yang selama dua minggu terakhir ini Juminten datangi. Lalu dengan kepiawaian seorang
wartawati yang memiliki kecerdasan investigatif, kisah bersamaan perasaan lara bercampur
luka dan kecewa itu mengalir begitu saja. Dari memori mereka. Para perempuan mantan
mahasiswi FakultasSyari’ah di salah-satu kampus berlabel Islam.
“Saya
harus lulus, Mbak...”
Juminten
melihat kedua tangan dengan jari-jari yang panjang nan indah itu menelungkup pada
wajah perempuan di depannya, menyembunyikan isak tangis. Nama perempuan ini memang
masuk daftar list dalam catatan Juminten. Juminten mendaftar tiga puluh tiga perempuan
secara acak dalam lima tahun terakhir ini, yang menjadi mahasiswi bimbingan Mad
Ngaceng. Salah seorang lelaki hidung belang yang menggunakan kuasa kursi seorang dosen pembimbing
untuk melampiaskan nafsu hewaninya.
Dalam
menyusun draf-draf datanya, selain menemukan bahwa rata-rata mahasiswi
bimbingan Mad Ngaceng adalah perempuan, Juminten juga menemukan para mahasiswi yang
menjadi korban adalah mereka yang tanpa aktifitas keorganisian kampus. Baik
intra apalagi ekstra. Rupanya, pelaku telah membaca kemungkinan-kemungkinan membahayakan
bagi tindakan hewaninya yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Selama
menjadi pembimbing skripsi. Seekor kelinci bermuka kucing!
“Dan
sa… dan saya terpaksa, Mbak! Bapak dan Emak saya sakit parah. Waktu itu saya benar-benar
butuh pekerjaan dan harus lulus untuk mendapatkan ijazah sarjana saya,” perempuan
itu kembali menangis tertahan, terpaksa memutar ulang masa kelamnya saat menjadi
mahasiwi. Di detik-detik terakhir merampungkan administrasi persyaratan siding skripsi.
Bagaimana
bisa seorang iblis duduk di kursi seorang pendidik.Ya, seorang pendidik yang
jangankan melakukan hal amoral nan menjijikkan seperti itu, guru kencing berdiri
saja murid akan kencing berlari. Sekali lagi, Juminten geram: Bagaimana bisa seorang
iblis duduk di kursi seorang pendidik. Bagaimana
bisa sampai bertahun-tahun. Bagaimana bisa sampai menjadi seorang guru besar.
Semakin
kerja investigasi Juminten berada di tingkat yang dalam, semakin terbelalak nurani
kemanusiaannya. Jiwanya sempat mengalami jeda. Bagaimana bisa kenyataan seorang
iblis berkelamin hewan yang duduk di kursi-kursi dosen bagaikan akar yang merambat panjang dan bercabang-cabang.
Semakin
dalam Juminten tenggelam, semakin ia tahu banyak sekali iblis berkelamin hewan
di sana. Menjadi rahasia umum tak terbahasa.
Menjadi kerak hitam dalam pintu yang terkunci rapat. Kepura-puraan yang bersembunyi
dalam peradaban yang palsu. Massif, sistematis, dan terorganisir. Dari
ceruk paling bawah sampai pernah yang paling menara.
Dulu,
Juminten memang gagal. Teman sekamar kostnya, Ria, mahasiswi asal Wonogiri yang
ayu dan lembut, pernah terjungkal di sudut kehidupan kampus. Dari sanalah pertama
kali Juminten tahu, menangis berdua bersama Ria mendapati kenyataan dosen faforit
pengampu matakuliah Tasawwuf yang nampak terlihat saleh, bahkan nyufi dan kebapak-bapakan menolak menandatangani
lembar pengesahan revisi skripsi yang harus ditandatangani pembimbing.
Ria
yang mahasiswi polos di mata Juminten hanya menangis tertahan di atas sepatu dan
rok panjangnya ketika mendengar pemintaan barter antara tandatangan pengesahan dan
dua bibir perawan miliknya. Ria lari dengan membawa bayangan menyeringai dan suara
yang memantul-mantul di kepalanya itu: “Aku tandatangani nanti malam, setelah kau
tidur bersamaku.”Ria menangis, berlabuh pada Juminten. Juminten geram dan ingin
muntah! Jiwa aktifisnya nyala.
Pertama,
Juminten menemui Gufron, ketua komisariat
organisasi ekstra kampus. Pertama sekali Gufron terperanjat. Dia malu mengaku kecolongan
dan justru berterimakasih dan berjanji akan bekerjasama dengan Juminten dalam kasus
ini. Tapi sial, Gufron terdiam seribu bahasa saat Juminten menyebut satu nama.
Juminten melihat, Gufron sebagai lelaki dan pemimpin yang menelan omongannya sendiri.
Kelak, Juminten tahu, nama yang disebutnya adalahnama paling disegani oleh paraaktifis
kampus. Nama yang memiliki kekuatan berlabirin tebal.
Juminten
memilih jalan sunyi. Dilihatnya dengan jeli nama-nama dosen di kampusnya yang
terlihat berjiwa jernih. Beberapa sangat terperanjat, beberapa semakin mendekatkan
Juminten pada fakta yang menjadi rahasia umum di kalangan atas. Juminten terbelalak.
Beberapa memintanya mundur, karena akan menodai
nama kampus dan segala dana yang mengucur akan mandeg. Juminten mental, tanpa solusi.
Juminten
tidak mau kalah. Dia tetap menggeliat bersama beberapa teman kepercayaan. Kini lewat
LSM-LSM perempuan. Sampai suatu malam, kamar kostnya kosong.
Ria tidak ada beserta semua barang-barangnya. Sepucuk surat dari Ria meminta Juminten
melupakan segalanya. Ria mengatakan telah mendapatkan tandatangan tanpa menceritakan
bagaimana kronologinya. Bulan depan, Ria sudah bisa wisuda. “Jangan resah Juminten,
teman kesayanganku, perempuan hebat, aku
masih perawan. Sungguh. Tapi tolong, berhentilah! Sudahi semuanya. Demi aku,”
ternganga Juminten membaca kalimat akhir Ria.
Juminten
mengumpat. Merasa kecolongan. Kecerdasan intelegensinya mengatakan, salah satu dosen
yang didatanginya adalah bagian dari kaki cumi-cumi yang ingin ditangkapnya. Dan
dia tahu, manakala satu kaki tertangkap, semua kaki sampai kepala akan terungkap.
Sekali lagi Juminten mengumpat dan tersandar di dinding kamar kost. “Oh, Ria!
Mengapa kau tidak menjadi kuat!” Tapi Juminten sangat mengerti, bahwa kejahatan
yang sangat teroganisir, rapi, dan sunyi ini bukanlah tandingan seorang Ria.
Mungkin juga dirinya sendiri, bilamana tahu segelap apa kejahatan yang sedang dihadapinya.
Azan
maghrib pecah menggantikan keroncong Hetty Koes Endang. Wajah-wajah perempuan
di atas langit pudar bersamaan senja yang turun. Juminten terkejut, dering watshappnya
berbunyi. Mata Juminten membeliak dan mulutnya sedikit menganga demi membaca pesan
dari teman wartawannya: “Kasus kita ditutup. Argumen tidak jelas.Ini kejahatan,
Juminten!”
0 komentar:
Posting Komentar