Kamis, 22 Desember 2016

Sapardi-Chairil; Yang Membersamai



Masa melankolis itu kuhabiskan waktu di Perpustakaan. Meyembuhkan luka hati. Kuambil dua kumpulan puisi. Satu, ‘Hujan Bulan Juni’ milik Sapardi Djoko Damono, dan satu lagi milik si binatang jalang, Chairil Anwar.

Dua pekan aku membacanya, sengaja aku baca pelan-pelan, berlama-lama dan berulang-ulang. Ingin dilahap semuanya oleh batinku. Oleh batinku. Oleh batinku. Dan… oleh batinku.

Lalu aku mengenali puisi-puisi Sapardi sebagai jiwa yang lembut, peka, indah, dekat dengan alam, sekaligus penciptanya. Puisi-puisi yang mencintai dengan diam-diam, bahkan saat menangis. Sapardi, lewat puisinya, ingin menangis pun secara diam-diam di bawah gerimis yang turun lembut.

Ah, siapa yang tidak tahu bahwa hujan adalah milik puisi-puisi Sapardi. Aku bayangkan, dia adalah lelaki yang lembut jiwa-raga. Puisi-puisi itu bertutur dengan lembut dan hangat. Sebagaimana sosok lelaki yang diidam-idamkan banyak perempuan.

http://greatthoughtstreasury.com/sites/default/files/med_2604100811_chairil-oke[1].jpg

Dan Chairil Anwar datang bersama puisi-puisinya sebagai lelaki yang bohemian, dalam, bergairah, meledak-ledak dan mencintai dengan lebih berani sekaligus terang-terangan. Puisi yang khas milik lelaki jalang.

Chairil bersama puisi-puisinya berdiri di ujung dunia yang lain dari Sapardi dan puisi-puisinya. Meski begitu, persamaan keduanya adalah masing-masing pernah berada dalam satu titik yang sama dalam suatu hal yang tidak bisa diwadahi oleh kata-kata. Sebuah peristiwa yang membuat jatuh berbunga dan jatuh luka dan berbunga lagi. Dan semuanya itu memang bersembunyi di balik kata-kata. Di antara juntaian puisi-puisi. Bertudung bahasa.

Tapi, suatu hal itu hanya bisa kamu rasakan tanpa kamu bisa katakan. Selain sedikit saja bisa kamu sembunyikan lewat puisi-puisi. Sedikit saja. Karena semuanya terlalu ‘maha’.

Desember 2016

0 komentar:

Posting Komentar